Sabtu, 28 Juni 2014

PPT gambut












hutan rawa gambut




BAB I
EKOSISTEM  HUTAN RAWA GAMBUT

1.1        Pengertian
1.1.1                  pengertian ekosistem
Ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang berpengaruh. Ekosistem merupakan hubungan timbal balik yang kompleks antara organisme dan lingkungannya baik yang hidup maupun tak hidup yang secara bersama-sama membentuk suatu sistem ekologi. Ekosistem juga merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Gumilar, 2010).
Ekosistem merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju kepada suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara organisme dan anorganisme. Matahari sebagai sumber dari semua energi yang ada (Gumilar, 2010).
Ekosistem  juga merupakan suatu interaksi yang kompleks dan memiliki penyusun yang beragam. Dibumi ada bermacam-macam ekosistem. Secara singkat ekosistem berarti sistem yang berlangsung dalam suatu Lingkungan. Di dalam lingkungan terdapat komponen-komponen, baik komponen fisik (benda hidup/biotik dan benda mati/abiotik) maupun komponen non fisik berupa hubungan manfaat suatu benda terhadap benda lainnya (trofik). Di dalam lingkungan juga terjadi suatu fenomena dinamika yang menyangkut hubungan interaksi antar kelompok fisik, atau dapat dikatakan bahwa di dalam lingkungan tersebut terjadi suatu sistem yang dinamis (Gumilar, 2010).
Unit ekologis adalah ekosistem, yang merupakan sebuah kelompok yang terdiri atas beragan populasi yang berinteraksi dalam suatu daerah tertentu. Daerah tersebut ( habitat), bisa jadi hanya sekecil kolam local ataupun seluas gurun sahara,  Berbagai populasi yang berinteraksi. Setiap ekosistem dalam suatu wilayah selalu mengalami perkembangan menuju ke arah keseimbangan. Ekosistem, yaitu tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi (UU Lingkungan Hidup Tahun 1997). Unsur-unsur lingkungan hidup baik unsur biotik maupun abiotik, baik makhluk hidup maupun benda mati, semuanya tersusun sebagai satu kesatuan dalam ekosistem yang masing-masing tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa hidup sendiri, melainkan saling berhubungan, saling mempengaruhi, saling berinteraksi, sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan.
Perkembangan ekosistem tersebut tergantung dari pola perkembangan komunitas yang ada di dalamnya. Secara umum perkembangan ekosistem yang dikenal dengan suksesi ekologi ini, melalui beberapa tahapan-tahapan perkembangan yang disebut sere. Setiap sere memberikan ciri-ciri khas tersendiri tergantung dari jenis-jenis dominan yang ada dan faktor pembatas fisiknya (Gumilar, 2010)

1.1.2        Pengertian hutan
Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem adalah sangat tepat, mengingat hutan itu dibentuk atau disusun oleh banyak komponen yang masing-masing komponen tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa dipisah-pisahkan, bahkan saling memengaruhi dan saling bergantung.
1.      Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 Tahun 1999).
2.      Hutan adalah lapangan yang ditumbuhi pepohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya atau ekosistem (Kadri dkk., 1992).
3.      Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai atau didominasi oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan diluar hutan (Soerianegara dan Indrawan, 1982).
4.      Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan dan binatang yang hidup dalam lapisan dan di permukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis (Arief, 1994).

1.1.3        Pengertian rawa gambut
            Hutan rawa gambut merupakan hutan dengan lahan basah yang tergenang yang biasanya terletak di belakang tanggul sungai (backswanp). Hutan ini didominasi oleh tanah-tanah yang berkembang dari tumpukan bahan organik, yang lebih dikenal sebagai tanah gambut atau tanah organic (Histosols). Dalam skala besar, hutan ini membentuk kubah (dome) dan  terletak diantara dua sungai besar.
Tabel 1 : formasi hutan lahan basah di daerah tropika menurut karakteristik habitat fisiknya
Iklim
Air tanah/Lokasi
Tanah
Elevasi
Formasi hutan
Selalu basah
Muka air tanah (water table) tinggi, paling tidak secara periodic.
Daerah pantai (air asin)
Substrat lumpu
Dataran rendah pantai
1 hutan rawa mangrove
2. hutan nipah (brackish water forest)
Daerah pedalaman (air tawar)
Gambut oligotrofik
Dataran rendah
3 Hutan rawa gambut

Tanah eutrofik (muck dan tanah mineral)
Dataran rendah selalu tergenang
4 hutan rawa
Tergenang secara periodik
5 Hutan rawa musiman

            Hutan rawa gambut merupakan kombinasi tipe hutan formasi klimatis (climaticformation) dengan tipe hutan formasi edaphis (edaphic formation). Faktor iklim yang mempengaruhi pembentukan vegetasi adalah temperatur, kelembaban, intensitas cahaya dan angin. Hutan rawa gambut terdapat pada daerah-daerah tipe iklim A dan B dan tanah organosol dengan lapisan gambut setebal 50 cm atau lebih.
Gambar 1: Ekosistem Hutan Rawa Gambut (Sumber: Arsip Biologi 6A, 2014)
1.2   ProsesTerjadinya Hutan Rawa Gambut
Hutan rawa gambut  terbentuk dalam 10.000 – 40.000 tahun. Awalnya berupa cekungan yang menahan air tidak bisa keluar. Setelah 5.000 tahun, maka permukaan akan naik. Lama-kelamaan hutan rawa gambut secara bertahap akan tumbuh. Karena air tidak keluar dan terjadi pembusukan kayu, maka terjadi penumpukan nutrient. Kalau kawasan rawa gambut dibuka, maka air dan nutriennya akan keluar, dan yang akan terjadi adalah kawasan rawa gambut akan dangkal dan unsur hara sangat sedikit.



 













Gambar 3 : Proses pembentukan gambut di Indonesia (Noor, 2001), (sumber : arsip 6A, 2014)
Berdasarkan kandungan bahan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu tanah mineral yang mengandung bahan organik berkisar antara 15 % sampai dengan 20 % dan tanah organik yang mengandung bahan organik berkisar antara 20 % sampai dengan 25 % bahkan kadang-kadang sampai 90 % mengandung bahan organik (Buckman dan Brady, 1982). Asian Wetland Beraue dan Ditjen PHPA (1993) dalam Koesmawadi (1996) mengemukakan bahwa hutan rawa gambut merupakan statu ekosistem yang unik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (a) selalu tergenang air, (b) komposisi jenis pon beraneka ragam, mulai dari tegakan sejenis seperti jenis Calophyllum inophyllum Mix. Sampai tegakan campuran, (c) terdapat lapisan gambut pada lantai hutan, (d) mempunyai perakaran yang khas, dan (e) dapat tumbuh pada tanah yang bersifat masam.

Gambar 4 : tanah asam (air asam) pada rawa gambut, sumber : arsip 6A, 2014)

1.3   Komposisi Gambut
Gambut adalah sisa timbunan tumbuhan yang telah mati dan kemudian diuraikan oleh bakteri anaerobik dan aerobik menjadi komponen ang lebih stabil. Selain zat organik yang gambut terdapat juga zat anorganik dalam jumlah yang kecil. Di lingkungan pengendapannya gambut ini selalu dalam keadaan jenuh air (lebih dari 90%). Zat organik pembentuk sama dengan tumbuhan dalam perbandingan yang berlainan sesuai dengan tingkat pembusukannya. Zat organik tersebut terdiri dari cellulosa, lignin, bitumin (wak dan resin), humus dan lain-lain.
Komposisi zat organik ini tidak stabil tergantung pada proses pembusukan, misalnya cellulosa pada tingkat pembusukan dini (H1-H2) sebanyak 15-20 % tetapi pada tingkat pembusukan lanjut (H9-H10) hampir tidak ditemukan. Sebaliknya humus pada cellulosa pada tingkat pembusukan dani terdapat 0-15 %, sedangkan pada gambut yang telah mengalami pelapukan yang lebih tinggi (H9-H10) mencapai 50-60 %. Unsur –unsur pembentukan gambut sebagai besar terdiri dari karbon (C),hidrogen (H),nitrogen (N) dan oksigen (O). selain unsur utama terdapat juga unsur lain Al,Si,S,P,Ca. dan lain-lain dalam bentuk terikat. Tingkat pembusukan pada gambut akan menaikkan kadar karbon (C) dan menurunkan oksigen (O).
Gambar 5 : komposisi gambut, (sumber : arsip 6A, 2014)

Daerah gambut topogenus lebih bermanfaat untuk lahan pertanian dibandingkan dengan daerah gambut ombrogenus karena gambut topogenus mengandung relatif lebih banyak nutrisi. Kedua jenis gambut tersebut pada hakikatnya secara megaskopis agak sukar didefenisikan secara pasti karena kompleksnya tahapan proses pembusukan. Komposisi gambut menentukan mutu dan kegunaannya yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kandungan zat organik,abu,bulk density,kandungan kayu dan lain-lain.
1.4  Klimatologis ekosistem hutan rawa gambut
Cuaca dan iklim memiliki peranan yang penting dalam kehidupan manusia. Cuaca dan iklim merupakan salah satu komponen ekosistem alam. Kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca dan iklim, mulai dari jenis pakaian, makanan, bentuk rumah, pekerjaan sampai rekresi tidak terlepas dari pengaruh atmosfer beserta proses - prosesnya. Cuaca dan iklim selalu menyertai dan mempengaruhi kehidupan manusia di bumi. Ilmu yang mempelajari tentang cuaca dan iklim adalah meteorologi dan klimatologi.
Meteorologi adalah ilmu yang mempelajari tentang proses - proses fisika yang terjadi di atmosfer pada saat tertentu, beserta fenomena - fenomena fisik di atmosfer. Klimatologi didefinisikan sebagai ilmu yang memberi gambaran dan penjelasan penjelasan sifat iklim, perbedaan iklim di berbagai tempat dan kaitan antara iklim dan aktivitas manusia, mempelajari jenis iklim di muka bumi dan faktor penyebabnya.
Klimatologi adalah ilmu yang mempelajari atau menyelidiki tentang iklim. Yang dimaksud dengan iklim adalah keadaan cuaca pada suatu daerah tertentu pada jangka waktu yang panjang. Sedangkan cuaca adalah keadaan atmosfer pada suatu waktu (Wikipedia, 2013). Klimatologi ialah ilmu yang menelaah tentang karakteristik iklim antar wilayah. Klimatologi ini lebih ditekankan pada atas rata-rata  dari unsur-unsur iklim yang menjadi cirri dari suatu wilayah. Informasi klimatologi dapat digunakan sebagai penduga keadaan suhu, kelembaban udara, intensitas cahaya, curah hujan, dan angin pada suatu wilayah pada waktu tertentu (Lakitan, 2002).
Klimatologi dibagi menjadi dua yaitu makro klimatologi dan mikro klimatologi. Makro klimatologi adalah klimatologi yang mempelajari sifat-sifat atmosfer pada daerah yang luas. Sedangkan mikro klimatologi adalah klimatologi iklim pada daerah yang sempit. Klimatologi sangat penting bagi ekologi tumbuhan. Dikontraskan dengan meteorologi yang mempelajari cuaca jangka pendek yang berakhir sampai beberapa minggu, klimatologi mempelajari frekuensi dimana sistem cuaca ini terjadi (thesproduction Blogspot, 2008).
Iklim juga akan mempengaruhi jenis tanaman yang sesuai untuk dibudidayakan pada suatu kawasan, penjadwalan budi daya pertanian, dan teknik budi daya yang dilakukan petani. Pengetahuan tentang iklim sangat penting artinya dalam sektor pertanian. Keeratan hubungan antara klimatologi (dan meteorologi) dengan ilmu pertanian tercermin dengan berkembangnya cabang klimatologi dan meteorologi yang khusus dikaitkan dengan kegaitan pertanian, yang disebut sebagai klimatologi pertanian dan meteorologi pertanian (Lakitan, 2002).
Menurut Elfis (2010) unsur-unsur klimatologis terdiri dari :
o   Tanah
o   Curah Hujan
o   Angin
o   Cahaya matahari
o   Temperatur
o   Lengas udara

DATA KLIMATOLOGIS UNTUK EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT
Hutan Rawa Gambut Di Kecamatan Sungai Mandau Kabupaten Siak
PENGUKURAN IKLIM PERIODE APRIL-DESEMBER 2013
JANUARI –MARET 2014
(Berdasaran rekapitulasi data klimatologis sekunder dari Stasiun Mini Meteorologi
Dinas Pertanian Kabupaten Siak )

A. Rata-rata intensitas radiasi matahari (Watt/m2)

No
Bulan
Radiasi harian (Watt/m2/menit)
9.00
10.00
11.00
12.00
13.00
14.00
15.00
1.
April
103,9522
103,3915
103,3522
102,0316
103,6935
103,0290
103,0290
2.
Mei
142,0522
142,6222
142,2296
102,2292
142,2322
142,0220
142,0220
3.
Juni
110,2032
163,0222
110,3122
103,2251
103,9223
102,9321
102,9321
4.
Juli
103,9621
1036621
103,5321
132,2226
102,2225
103,2223
103,2223
5.
Agustus
102,9660
103,9922
103,0150
102,1052
103,3105
103,0222
103,0222
6.
September
102,2252
102,2322
103,6623
100,5391
103,2222
102,6622
102,6622
7.
Oktober
102,2662
102,9921
103,0222
102,6225
102,9920
103,6692
103,6692
8.
November
102,6666
102,2251
103,6692
103,9210
103,6623
103,9635
103,9635
9.
Desember
102,9660
103,9922
103,0150
102,1052
103,3105
103,0222
103,0222
10.
Januari
102,2252
102,2322
103,6623
100,5391
103,2222
102,6622
102,6622
11.
Februari
102,2662
102,9921
103,0222
102,6225
102,9920
103,6692
103,6692
12.
Maret
102,6666
102,2251
103,6692
103,9210
1036623
103,9635
103,9635



B. Rata-rata suhu udara (oC)

No.
Bulan
Suhu udara harian (oC)
9.00
10.00
11.00
12.00
13.00
14.00
15.00
1.
April
26,1
26,0
26,0
26,5
26,2
26,1
26,1
2.
Mei
28,1
26,1
26,5
29,1
29,1
26,2
26,2
3.
Juni
26,1
26,4
29,0
28,0
28,1
29,1
29,1
4.
Juli
26,4
26,2
29,2
28,5
28,4
28,1
29,1
5.
Agustus
26,5
29,1
26,2
28,0
28,1
29,1
26,1
6.
September
28,1
26,1
26,1
28,4
29,2
29,1
26,0
7.
Oktober
28,4
26,1
26,1
28,1
29,1
29,1
26,1
8.
November
28,1
26,1
26,4
29,0
29,1
26,5
26,2
9.
Desember
26,5
29,1
26,2
28,0
28,1
29,1
26,1
10.
Januari
28,1
26,1
26,1
28,4
29,2
29,1
26,0
11.
Februari
28,4
26,1
26,1
28,1
29,1
29,1
26,1
12.
Maret
28,1
26,1
26,4
29,0
29,1
26,5
26,2

C. Rata-rata kelembaban udara (%)

No.
Bulan
Kelembaban udara harian (%)
9.00
10.00
11.00
12.00
13.00
14.00
15.00
1.
April
66
64
64
64
66
65
65
2.
Mei
65
61
64
63
64
64
64
3.
Juni
69
66
65
64
64
65
64
4.
Juli
62
64
65
61
61
64
64
5.
Agustus
66
64
63
65
66
64
65
6.
September
63
62
65
65
65
66
64
7.
Oktober
64
62
65
64
64
66
69
8.
November
65
64
62
69
66
66
69
9.
Desember
62
64
65
61
61
64
64
10.
Januari
66
64
63
65
66
64
65
11.
Februari
63
62
65
65
65
66
64
12.
Maret
64
62
65
64
64
66
69

Selanjutnya menurut Lakitan (2002), iklim merupakan salah satu faktor (selain tanah) yang akan mempengaruhi distribusi tumbuhan. Wilayah dengan kondisi iklim tertentu akan didominasi oleh spesies-spesies tumbuhan tertentu, yakni speseis tumbuhan yang dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim tersebut. Berdasarkan keterkaitan yang erat antara kondisi iklim dengan spesies tumbuhan yang dominan pada suatu wilayah, beberapa ahli membuat klasifikasi iklim berdasarkan jenis tumbuhan yang dominan (beradaptasi baik) pada wilayah tersebut.

1.5  Ciri –Ciri Ekosistem Rawa Gambut
Menurut  penjelasan Elfis, yang menjadi ciri khas rawa gambut
1)      Warna air hitam, hal itu terkait dengan tingginya kandungan bahan organik
2)      Tanaman rawa gambut tumbuh di atas humus
3)      Tinggi tanaman rata-rata sama.
4)      Diameter batang tanaman besar
5)      Tanamannya lambat besar dibandingkan tanaman darat.

1.6  Klasifikasi Ekosistem Rawa Gambut
Menurut sistem kalsifikasi taksonomi tanah (USDA, 1975) tanah gambut termasuk kedalam ordo histosol, yaitu tanah dengan kandungan bahan organik lebih dari 20 % tekstur pasir atau lebih dari 30 % tekstur liat. Lapisan yang mengandung bahan organik tinggi tersebut tebalnya lebih dari 40 cm. Menurut sistem klasifikasi tersebut, ordo histosol berdasarkan bahan asal dan tingkat perombakannya dibedakan menjadi empat sub-ordo, yaitu folist, fibrist, hemist dan saprist. Sub-ordo tersebut berdasarkan kandungan atau ketebalan bahan penciri dan temperaturnya dibedakan menjadi beberapa kelompok besar. Untuk daerah tropika nama-nama kelompok besar antara lain: tropofolist, tropofibrist, tropohemist dan troposaprist. Kelompok besar ini secara umum mempunyai perbedaan temperatur rata-rata musim panas dan dingin kurang dari 50 C.

1.7  Pemanfaatan Gambut
1.7.1    Hutan Tanaman  Industri
Perhatikan pakar hutan terhadap sumberdaya gambut terus bertambah, setelah kemampuannya untuk mendukung kegiatan di berbagai gatra kehutanan semakin nyata. Pembangunan hutan tanaman industri (HTI) yang mulai di galakkan pada awal tahun 1980-an, merupakan pemicu penting bagi pengkajian dan pemanfaatan bahan gambut. Bahan gambut banyak di manfaatkan sebagai media semai tanaman hutan untuk menunjang pembangunan HTI.
Gambar 6 : tanaman eucalyptus (HTI) pada hutan rawa gambut (sumber : Arsip 6A, 2014)
Dalam rangka pemanfaatan sumber daya gambut ini ternyata banyak kendala yang belum mampu diatasi, sehingga menghambat pemanfaatannya secara optimal. Masih banyak watak bahan gambut yang belum terkaji tuntas, sehingga sering kali bereaksi jauh dari keinginan pengelolanya.
Masalah pemahaman watak gambut ini perlu di tuntaskan, untuk mencegah pemanfaatan yang mengancam kelestariannya. Hal ini jelas merupakan sesuatu yang merugikan, karena pembentukan gambut memerlukan waktu sangat lama. Kecerobohan pemanfaatannya berarti menyia-nyiakan kemampuan maksimalnya. Pemanfaatan sumber daya gambut hendaknya dilakukan secara terpadu, terorganisasi baik dan terkendali, untuk menghindari pemanfaatan yang tidak bertanggung jawab.


1.7.2        Fungsi dan Manfaat Ekosistem Gambut
Fungsi dan manfaat ekosistem gambut mengacu pada kegunaan, baik langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat. Beberapa fungsi dan manfaat dapat diringkas pada Tabel 2:
Fungsi Hutan Rawa Gambut Tropis
Manfaat dan Penggunaan
Pengaturan banjir dan arus larian
Mitigasi banjir dan kekeringan di wilayah hilir. Gambut memiliki porositas yang tinggi sehingga mempunyai daya serap air yang sangat besar. Menurut jenisnya, gambut saprik, hemik, dan fibrik dapat menampung air berturut-turut sebesar 451% (empat ratus lima puluh satu per seratus), 450-850% (empat ratus lima puluh hingga delapan ratus lima puluh per seratus), dan lebih dari 850% (delapan ratus lima puluh per seratus) dari bobot keringnya atau hingga 90% (sembilan puluh per seratus) dari volumenya.
Karena sifatnya itu, gambut memiliki kemampuan sebagai penambat (reservoir) air tawar yang cukup besar sehingga dapat menahan banjir saat musim hujan dan sebaliknya melepaskan air tersebut pada musim kemarau.
Pencegahan instrusi air laut
Kegiatan pertanian di wilayah pasang surut akan memperoleh manfaat besar dari keberadaan rawa gambut di wilayah hulu, sebagai sumber air tawar untuk irigasi dan memasok air tawar secara terus menerus guna menghindari atau mitigasi intrusi air asin.
Pasokan air
Di beberapa wilayah pedesaan pesisir, rawa gambut bisa jadi merupakan sumber air yang dapat digunakan untuk keperluan minum dan irigasi untuk beberapa bulan selama setahun.
Stabilisasi iklim
Penyimpanan karbon
Nilai keanekaragaman hayati yang dapat ditangkap diperkirakan sebesar US $ 3 (tiga) per hektar per tahun, tidak termasuk nilai intrinsik jenis, potensi ekowisata serta bahan-bahan farmasi yang dapat dipasarkan secara internasional (Tacconi 2003). Hutan rawa gambut di asia tenggara semakin menunjukkan peran pentingnya sebagai bank gen, terutama karena semakin menyusutnya peran hutan dataran rendah akibat kegiatan pembalakan dan konversi lahan. Bagi berbagai jenis satwa, lahan gambut menyediakan habitat yang sangat penting, khususnya pada wilayah yang bersambung dengan air tawar dan hutan bakau.
habitat hidup liar
Meskipun tidak sebanyak di ekosistem hutan tropis, ekosistem lahan gambut menyediakan habitat penting yang unik bagi berbagai jenis satwa dan tumbuhan, beberapa diantaranya hanya terbatas pada ekosistem gambut. Di Taman Nasional Berbak Jambi tercatat sekitar 250 (dua ratus lima puluh) jenis burung termasuk 22 (dua puluh dua) jenis burung bermigrasi.
Sungai berair hitam juga memiliki tingkat endemisme ikan yang sangat tinggi. Di samping itu, lahan gambut juga merupakan habitat ikan air tawar yang merupakan komoditas dengan nilai ekonomi tinggi dan penting untuk dikembangkan, baik sebagai ikan konsumsi maupun sebagai ikan ornamental. Beberapa jenis ikan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, termasuk gabus (chana striata), toman (channa micropeltes), jelawat, dan tapah (wallago leeri).
Sementara itu, beberapa jenis satwa telah termasuk dalam kategori langka dan terancam punah serta memiliki nilai ekologis yang luar biasa dan tidak tergantikan, sehingga sangat sulit untuk dikuantifikasi secara finansial. Beberapa jenis tersebut diantaranya adalah harimau sumatera (panthera tigris), beruang madu (helarctos malayanus), gajah sumatera (elephas maximus), dan orang utan (pongo pymaeus). Seluruh jenis tersebut dilindungi berdasarkan peraturan perlindungan di Indonesia serta masuk dalam appendix I CITES dan IUCN Red List dalam katagori endanger species.
Habitat tumbuhan
Tidak kurang dari 300 (tiga ratus) jenis tumbuhan telah tercatat di hutan rawa gambut Sumatera. Di Taman Nasional Berbak Jambi, misalnya kawasan ini merupakan pelabuhan bagi keanekaragaman genetis dan ekologis dataran rendah pesisir di Sumatera. Sejauh ini telah tercatat tidak kurang dari 260 (dua ratus enam puluh) jenis tumbuhan (termasuk 150 jenis pohon dan 23 jenis palem), sejauh ini merupakan jumlah jenis terbanyak yang pernah diketahui
Bentang alam
Hutan rawa gambut menempati kawasan yang khusus pada bentang alam dataran rendah, membentuk mosaik ekologi yang tersusun dari tipe vegetasi khas pada hutan bakau, diantara hamparan pantai tua, pinggiran sungai serta pertemuan dengan hutan rawa air tawar
Alam liar
Hutan rawa gambut memiliki nilai alam liar yang luar biasa, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk perkotaan. Hal ini merupakan modal yang sangat berharga untuk pengembangan pariwisata alam.
Sumber hasil alam
Rawa gambut menyediakan sumber alam yang luar biasa, termasuk berbagai jenis tumbuhan kayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti ramin (gonystylus bancanus), jelutung (dyera costulata) dan meranti (shorea spp).
Beberapa studi sosial-ekonomi menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat sekitar terhadap hutan rawa gambut dapat mencapai hingga 80% (delapan puluh per seratus) dan ini lebih tinggi dari ketergantungan mereka terhadap usaha pertanian.

1.8  Faktor edaphis ekosistem hutan rawa gambut
Tanah gambut menepati cekungan diantara dua sungai besar. Bila cekungan tersebut sempit, gambut yang terbentuk biasanya merupakan gambut dangkal dengan ketebalan 0,5 sampai 1 meter sedang dengan ketebalan 1-2 meter. Jika jarak horizontal kedua tersebut  cukup jauh hingga beberapa kilometer, tanah biasanya membentuk kubah gambut (peat dome) yang cukup besar (gambar 7). Pada bentukan kubah gambut seperti ini, semakin ke tengah kubah gambut, ketebalan gambut akan semakin bertambah sampai mencapai belasan meter (wibisona, et al., 2005)
SUNGAI
 
SUNGAI
 
TANAH MINERAL
 
TANAH ORGANIK
 
Gambar 7 : penampang skematis hutan rawa gambut dikubah gambut (peat dome)(Elfis, 2011) arsip 6A,2014
Menurut Wibisono, et al., (2005) dan Werland (2005) keterbatasan nutrient pada lahan gambut, terutama pada bagian tengah kubah gambut, menjadikan hutan rawa gambut memiliki struktur yang khas. Pada bagian tepi umumnya didominasi jenis-jenis tumbuhan yang tinggi dengan diameter yang besar serupa dengan hutan dataran rendah lainnya berubah menjadi pohon-pohon dengan diameter yang lebih kecil dipusat kubah.


KRITERIA PENILAIAN KESUBURAN TANAH MENURUT PUSAT PENELITIAN TANAH
(Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1993)


Ciri-Ciri Tanah
Tingkatan
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat  Tinggi
C-organik (%)
< 1,00
1,00-2,00
2,01 - 3,00
3,01 – 5,00
> 5,00
N-total (%)
a.      Mineral
b.      Gambut

< 0,10

0,10-0,20
< 0,80

0,21 - 0,50
0,80 – 2,50

0,51 – 0,75
> 2,50

> 0,75
Rasio C/N
< 5
5 – 10
11 – 15
16 – 25
> 25
P2O5 Bray 1 (ppm)
< 10
10 –15
16 – 25
26 – 35
> 35
K (me/100 g)
< 0,10
0,10-0,20
0,30 – 0,50
0,60 – 1,00
> 1,00
Na (me/100 g)
< 0,10
0,10-0,30
0,40 – 0,70
0,80 – 1,00
> 1,00
Mg (me/100 g)
< 0,40
0,40-1,00
1,10 – 2,00
2,10 – 8,00
> 8,0
Ca (me/100 g)
< 2
2 – 5
6 – 10
11 – 20
> 20
KTK (me/100 g)
< 5
5 – 16
17 – 24
25 – 40
> 40
Kejenuhan Basa (%)
< 20
20 –35
36 – 50
51 – 70
> 70
Kadar Abu (%)

< 5
5 – 10
> 10


Sangat Masam
Masam
Agak Masam
Netral
Agak Alkalis
Alkalis
pH (H2O)
a. Mineral

< 4,5

4,5 – 5,5

5,6 – 6,5

6,6-7,5

7,6 -8,5

> 8,5

Sangat masam
Sedang
Tinggi
pH (H2O)
b. Gambut

< 4,0

4 – 5

> 5













DATA EDAPHIS UNTUK
EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT
Kisaran Nilai dan Tingkat Penilaian Analisis Agregat Kimia Tanah
Hutan Rawa Gambut Di Kecamatan Sungai Mandau Kabupaten Siak


Sifat Kimia Tanah
Kedalaman Lapisan Contoh (cm)
0 – 30
30 – 60
Nilai
Peringkat
Nilai
Peringkat
pH (H2O) Gambut
3,2 – 4,2
SM
3,0 – 4,1
SM
C-organik (%)
22,26–45,31
ST
19,28 – 45,56
ST
N-total (%)
0,68 – 1,35
SR - S
0,38 – 0,93
SR – S
P2O5 Bray 1 (ppm)
13,5 – 13,6
R
13,0 – 16,5
R
Ca (me/100 g)
2,01 – 7,21
R – S
1,37 – 2,69
SR – R
Mg (me/100 g)
1,12 – 1,55
S
0,91 – 1,41
R – S
K (me/100 g)
0,30 – 1,44
S – ST
0,44 – 0,72
S – T
Na (me/100 g)
0,98 – 2,62
T – ST
0,98 – 1,73
T – ST
Total Basa (me/100g)
7,19 – 10,04

5,02 – 5,23

KTK (me/100 g)
68,5 – 151,6
ST
67,5 – 177,8
ST
Kejenuhan Basa (%)
4,7 – 14,7
SR
2,9 – 7,4
SR
Kadar Abu (%)
22,06 – 61,71
ST
21,64 – 66,83
ST
Kadar Air Lapang (%)
181,6-524,6

183,4 – 453,3

Kadar Air Tanah (%)
127,6-336,9

89,2 – 302,2


Keterangan :
SM = Sangat masam              T = Tinggi                       R = Rendah
ST = Sangat tinggi                  S = Sedang                   SR = Sangat  rendah

Catatan : Diolah dari data analisis agregat tanah oleh Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Universitas Riau

1.8.1  Tanah ekosistem hutan rawa gambut
Gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah lapuk, terdiri dari bahan organik yang sebagian besar belum terdekomposisi atau sedikit terdekomposisi serta terakumulasi pada keadaan kelembaban yang berlebihan. Berdasarkan kandungan bahan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu tanah mineral yang mengandung bahan organik berkisar antara 15 % sampai dengan 20 % dan tanah organik yang mengandung bahan organik  berkisar  antara 20 % sampai dengan 25 % bahkan kadang-kadang  sampai   90 % mengandung bahan organik (Buckman dan Brady, 1982).
Asian Wetland Beraue dan Ditjen PHPA (1993) dalam Koesmawadi (1996) mengemukakan bahwa hutan rawa gambut merupakan statu ekosistem yang unik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
(a) selalu tergenang air
(b) komposisi jenis  pon beraneka ragam, mulai dari tegakan sejenis seperti jenis Calophyllum inophyllum Mix. Sampai tegakan campuran,
(c) terdapat lapisan gambut pada lantai hutan,
(d) mempunyai perakaran yang khas, dan
(e) dapat tumbuh pada tanah yang bersifat masam.

Tanah gambut, merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan bahan organik lebih dari 45 cm ataupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik lebih dari 50 cm (Suhardjo, 1983). Tanah gambut tersebut pada umumnya mengandung lebih dari 60 % bahan organik (Driessen, 1977). Tanah gambut atau tanah organik dimaksud dikenal juga sebagai tanah organosol atau histosol (Suhardjo, 1983).
Menurut sistem kalsifikasi taksonomi tanah (USDA, 1975) tanah gambut termasuk kedalam ordo histosol, yaitu tanah dengan kandungan bahan organik lebih dari 20 % tekstur pasir atau lebih dari 30 % tekstur liat. Lapisan yang mengandung bahan organik tinggi tersebut tebalnya lebih dari 40 cm. Menurut sistem klasifikasi tersebut, ordo histosol berdasarkan bahan asal dan tingkat perombakannya dibedakan menjadi empat sub-ordo, yaitu folist, fibrist, hemist dan saprist. Sub-ordo tersebut berdasarkan kandungan atau ketebalan bahan penciri dan temperaturnya dibedakan menjadi beberapa kelompok besar. Untuk daerah tropika nama-nama kelompok besar antara lain : tropofolist, tropofibrist, tropohemist dan troposaprist. Kelompok besar ini secara umum mempunyai perbedaan temperatur rata-rata musim panas dan dingin kurang dari 50 C.
          Gambar 8 : Tanah Hutan Rawa Gambut (Sumber: Arsip Biologi 6A, 2014)

Tanpa memandang tingkat dekomposisinya, gambut dikelaskan sesuai dengan bahan induknya menjadi tiga (Buckman dan Brady, 1982) yaitu :
(1) Gambut endapan; Gambut endapan biasanya tertimbun di dalam air yang relatif dalam. Karena itu umumnya terdapat jelas di profil bagian bawah. Meskipun demikian, kadang-kadang tercampur dengan tipe gambut lainnya jika lebih dekat dengan permukaan. Gambut ini berciri kompak dan kenyal serta bewarna hijau tua jika masih dalam keadaan aslinya. Kalau kering gambut ini menyerap air sangat lambat dan bertahan tetap dalam keadaan sangat keras dan bergumpal. Gambut ini tidak dikehendaki, karena sifat fisiknya yang tidak cocok untuk pertumbuhan tanaman.
(2) Gambut berserat; Gambut ini mempunyai kemampuan mengikat air tinggi dan dapat menunjukan berbagai derajat dekomposisi. Gambut berserat mungkin terdapat dipermukaan timbunan bahan organik yang belum terdekomposisi, sebagian atau seluruhnya terdapat dalam profil bawah, biasanya terlihat di atas endapan.
(3) Gambut kayuan; Gambut kayuan biasanya terdapat dipermukaan timbunan organik. Gambut ini bewarna coklat atau hitam jika basah, sesuai dengan sifat humifikasinya. Kemampuan mengikat air rendah, oleh karena itu gambut kayuan kurang sesuai digunakan untuk persemaian.
Gambar 9 : Kayu yang mengalami pelapukan/gambut kayuan (Sumber: Arsip Biologi 6A, 2014)
Menurut Darmawijaya (180) berdasarkan faktor pembentukannya, gambut digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu :
(1)   Gambut ombrogen; Gambut ombrogen terbentuk karena pengaruh curah hujan yang tinggi, dengan air yang tergenang, tanpa perbedaan musim yang mencolok dan pada daerah tropika yang lebat dengan curah hujan lebih dari 3000 mm tiap tahun. Bersifat sangat masam dengan pH 3,0 – 4,5.
(2)   Gambut topogen; Gambut topogen terbentuk karena pengaruh topografi, berasal dari tanaman paku-pakuan dan semak belukar dan mempunyai pH yang relatif tinggi.
(3)   Gambut pegunungan; Gambut ini terbentuk karena ketinggian tempat gambut, di daerah katulistiwa hanya terbentuk di daerah pegunungan dan iklimnya menyerupai iklim di daerh sedang dengan vegetasi utamanya Sphagnum.

Bahan organik pada tanah gambut dibedakan atas tiga macam (Rosmarkam et al., 1988) yaitu :
(1)    Fibric yang tingkat dekomposisinya masih rendah, sehingga masih banyak mengandung serabut, berat jenis sangat rendah (kurang dari 0,1), kadar air banyak, berwarna kuning sampai pucat.
(2)    Hemic merupakan peralihan dengan tingkat dekomposisi sedang, masih banyak mengandung serabut, berat jenis antara 0,07 – 0,18, kadar air banyak, berwarna coklat muda sampai coklat tua.
(3)    Sapric  yang dekomposisinya paling lanjut, kurang mengandung serabut, berat jenis 0,2 atau lebih, kadar air tidak terlalu banyak dengan warna hitam dan coklat kelam.

Tanah gambut di Indonesia sangat bervariasi tingkat kesuburannya. Gambut pantai umumnya merupakan gambut topogenous atau mesogenous, sebagian besar tergolong kedalam eutropik atau mesogenous, karena memperoleh tambahan unsur lain dari luar yaitu yang dibawa air pasang. Sedangkan gambut pedalaman pada umumnya merupakan gambut ombrogenous atau mesogenous yang termasuk kedalam oligotropik (Polak, 1975).
Kualitas tanah gambut sangat tergantung pada vegetasi yang menghasilkan bahan organik pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang berada di dawahnya, faktor lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan tanahnya. Vegetasi bahan pembentuk tanah gambut dipengaruhi oleh keadaan iklim, kualitas dan tata air tempat pembentukannya. Di daerah dataran tinggi dengan suhu yang dingin bahan organik yang terbentuk lebih halus dan mudah melapuk daripada di dataran rendah atau pantai. Vegetasi rawa atau air semula berupa  rumput-rumputan  yang membentuk bahan organik lebih dahulu di lapisan bawah, untuk kemudian ditimbun oleh bahan vegetasi yang lebih besar di atasnya. Oleh karena itu, tanah gambut mempunyai lapisan-lapisan dengan perbedaan kualitas karena vegetasi yang memberikan bahan organik berbeda (Suhardjo, 1983).
Selanjutnya Suhardjo (983) menyatakan bahwa sifat-sifat fisik tanah gambut ditentukan oleh tingkat dekomposisi atau kematangan bahan organik pembentuk gambut. Tingkat kematangan gambut ini dicirikan oleh kandungan serat bahan organik tersebut. Yang dimaksud serat adalah potongan atau kepingan jaringan tumbuhan yang tertahan oleh jaring dengan ukuran mesh 100, tidak termasuk akar hidup dan struktur jaringannya masih dapat dikenali. Fibric adalah tingkat gambut yang dekomposisinya rendah, duapertiga volumenya terisi serat. Tingkat kematangan hemic sedang dengan kandungan seratnya sepertiga sampai duapertiga volumenya. Sapric adalah bahan organik yang paling lapuk, kurang dari sepertiga volumenya masih berupa serat.
Jumlah, bentuk dan ukuran serat menentukan jumlah dan sebaran ukuran pori. Ruang pori total (RPT) ditentukan oleh bobot, isi dan bobot jenis rata-rata (average specifik density)  gambut, sedang  sebaran  ukuran  pori dipengaruhi oleh sebaran fraksi/serat dan struktur. Jumlah dan sebaran ukuran pori menentukan sifat-sifat retensi air, daya simpan air dan daya hantar hidrolik (Adhi, 1984).
Susunan kimia dan kesuburan tanah gambut ditentukan oleh ketebalan lapisan gambut dan tingkat kematangan lapisan-lapisannya, keadaan tanah mineral di bawah lapisan gambut serta kualitas air sungai atau air pasang yang mempengaruhi lahan gambut dalam proses pembentukan dan pematangannya (Adhi, 1986). Sifat kimia tanah gambut dicirikan dengan nilai pH dan ketersediaan unsur nitrogen, fosfor dan kalium rendah, kejenuhan kalsium dan magnesium yang rendah, diikuti dengan pertukaran Al, Fe yang cukup tinggi sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Hakim, 1986). Gambut yang dipengaruhi air sungai, payau atau air laut lebih kaya unsur hara dibandingkan dengan gambut yang hanya tergantung air hujan saja. Kualitas air mempengaruhi kesuburan gambut yang terbentuk. Sedangkan tingkat kesuburan tanah gambut ditentukan oleh kandungan N, K2O, P2O5, CaO dan kadar abu. Semakin tinggi nilai-nilai tersebut semakin tinggi kesuburannya (Fleischer dalam Supraptohardjo, 1974).
Menurut Hakim (1986) berdasarkan nilai-nilai tersebut menggolongkan kesuburan tanah gambut menjadi tiga yaitu :
(1)   Gambut eutropik yang subur
(2)   Gambut mesotropik dengan kesuburan sedang
(3)   Gambut oligotropik dengan kesuburan rendah

Lokasi HPH PT. Yos Raya Timber didominasi oleh gambut ombrogen oligotropik, yaitu gambut yang miskin dengan sumber penggenangan air hujan. Pada gambut ombrogen semakin ke arah tengah lahan gambut terjadi penurunan tingkat kandungan hara. Kecendrungan semakin menurunya kesuburan tanah dicirikan oleh menurunya tinggi tajuk vegetasi hutan, menurunya bahan kering per satuan luas, menebalnya daun serta menurunnya rata-rata diameter pohon. Ketidakmampuan pohon-pohon tumbuh optimal dibagian tengah gambut karena keadaannya yang sangat ekstrim, khusunya pH dan ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Anwar et al., 1984). Sebagai akibat dari keadaan di atas, formasi hutan gambut ombrogen sering memiliki variasi lokal sebagai phasic communities (Anderson, 1961).
Menurut Rose dalam (Mile, 1997), hutan-hutan tropika basah yang tergolong ke dalam hutan tropika basah dataran rendah (lowland tropical rain forest) dan tinggi (higland tropical rain forest) sebagian besar tumbuh pada tanah yang tergolong marginal. Menurut Prichet (1979), hutan alam tersebut dapat tumbuh dengan baik dan lestari pada tanah yang berpelapukan lanjut karena memiliki sistem perputaran hara tertutup (closed system nutrients cycling) yang terjaga dengan baik. Jordan (1985) menyatakan, bahwa hal ini dimungkinkan karena kondisi hutan alam yang multi strata baik tajuk maupun sistem perakaran serta kondisi iklim (terutama curah hujan dan temperatur) yang dapat mendukung terjadinya pengembalian hara yang cepat serta pemanfaatannya secara efesien.
Selanjutnya Prichet (1979) menyatakan bahwa kemampuan hutan tropika basah Indonesia bukan disebabkan oleh kesuburan tanahnya, melainkan semata disebabkan oleh adanya siklus hara yang ketat dan tertutup yang mampu menyumbat peluang kebocoran unsur hara. Perjalanan suksesi hutan menuju klimaks, pada hakekatnya merupakan proses pembangunan ekosistem. Pada saat suksesi mencapai klimaks, ekosistem yang dibentuknya berada dalam keadaan kondisi yang paling baik. Tanaman yang berkembang pada kondisi ini didukung oleh lingkungan tumbuh yang paling optimal. Dehutanisasi yang diikuti oleh konversi hutan menjadi berbagai macam fungsi, betapun mulianya tujuan program ini, secara ekologi pada hakekatnya memundurkan perjalanan suksesi dari kondisi klimaksnya. Merubah watak siklus hara yang ketat dan tertutup menjadi longgar dan terbuka akan memberikan peluang lebar terhadap proses kebocoran hara mineral.
Jordan (1985) menyatakan bahwa, hasil fotosintesa hutan tropis lebih banyak di simpan di daun, sedangkan tanaman hutan temperate lebih banyak disimpan di kayu. Dengan demikian, walaupun produk bersih tanaman (net primary productivity) hutan tropis lebih besar, namun lebih disebabkan oleh banyaknya produksi daun. Banyaknya produksi daun menyebabkan sebagian besar unsur hara yang ada di dalam hutan tropika basah tersimpan pada biomas tanaman dan bukan pada tanah hutan sebagaimana pada hutan temperate, dimana sebagian besar unsur haranya tersimpan di tanah dan lantai hutan. Hal ini dikarenakan adanya proses pembentukan unsur hara yang terjadi secara berkala melalui proses pengguruan daun. Oleh karena itu dehutanisasi hutan tropika basah berakibat kemerosotan hara tanah secara drastis dibandingkan dengan proses dehutanisasi daerah temperate (nontropis).
Tidak adanya pasokan hara dari air tanah dan sungai menjadikan vegetasi yang tumbuh digambut ombrogen akan tumbuh dalam siklus hara yang terbatas.  Adanya kehilangan hara akibat proses pencucuian atau terbawa keluarv oleh air gambut menjadikan gambut ombrogen semakin miskin unsur hara. Dengan kondisis tersebut kubah gambut ombrogen memiliki vegetasi dengan tipe yang khas yang berbeda antara bagian tepi kubah dengan bagian pusat kubah. Pada bagian tepi kubah yang relatif dangkal, perakaran tumbuhan masih dapat mencapai tanah mineral atau gambut topogen. Pada bagian tersebut akan berkembang mixed forest dengan pohon-pohon yang besar dan tumbuhan bawah yang lebat. Semakin ketengah kubah gambut terdapat deep peat forest yang memiliki tumbuhan dengan ukuran lebih kecil dan memiliki keragaman jenis yang lebih kecil dibandingkan vegetasi dibagian tepi. Pada bagian tengah kubah gambut, berkembang vegetasi padang forest yang terdiri pohon-pohon kayu  kecil dan jarang, pandan dan semak-semak . Perubahan dari mixed forest menjadi deep feat forest terdapat pada kedalaman gambut sekitar 3 meter (Adhi, 1986)
Telah dibuktikan bahwa semakin kepusat menuju ke puncak kubah gambut terdapat penurunan jumlah hara mineral (Whitmore, 1990). Kondisi hara mineral secara alamiah memang miskin di gambut ombrogen mempengaruhi produktivitas primer. Meskipun studi tentang hal ini masih harus dilakukan,tetapi jumlah bidang dasar di hutan rawa gambut menunjukkan bahwa produktivitas primer hutan gambut, khususnya di daerah sekitar puncak kubah gambut, Sangat rendah. Whitten et al., (1988) menyimpulkan bahwa dihabitat miskin seperti ini,masih tetap memungkinkan tetap terjadinya pertumbuhan. Alasan utama adalah :
1)      Di habitat dengan produktivitas rendah, tumbuhan harus memproduksi daun yang lebih baik perlindunganya untuk meningkatkan daya hidup daun itu sendiri. Daun memiliki batas hidup, biasanya terkait dengan jumlah kerusakan yang mampu ditolelir, sehingga akan lebih menguntungkan bagi tumbuhan bila dapat menjamin kerusakan selambat mungkin. Kemungkinan jaringan kutikula yang relatif tebal pada jenis yang tumbuh di hutan rawa gambut berfungsi untuk mengurangi pencucian hara dari daun hidup
2)      Di habitat dengan produktivitas rendah dan ditumbuhi vegetasi dimana produksi biji harus disertai dengan mekanisme anti predator, misalnya : kandungan zat racun yang tinggi pada buah atau pembuahan secara besar-besaran, biasanya terdapat sedikit jenis tumbuhan dan terdapat pengelompokan jenis secara nyata.
Daun-daun yang tumbuh dihutan rawa gambut umumnya mengandung resin, aroma yang menusuk. Hal ini merupakan ciri tumbuhan yang tumbuh di habitat miskin hara terutama bila suplei nitrogen dan phospor sangat terbatas. Daun yang tebal mungkin tidak hanya berfungsi untuk mempertahankan diri terhadap kondisi habitat, tetapi juga merupakan alat pertahanan terhadap herbivora (Whitten,et al., 1988). Jarangnya epifit yang tumbuh ditajuk pohon di hutan rawa gambut diinterprestasikan oleh Janzen (1974)  sebagai konsekuensi dari rendahnya kotoran burung, serangga, dan daun atau ranting yang jatuh.
Meskipun beberapa organisme mikro mampu memecahkan senyawa fenol, tetapi kerjanya sangat lambat dan membutuhkan organisme yang cukup akibatnya serasah di hutan rawa gambut tidak disentuh oleh perombak selama beberapa minggu, hingga kandungan senyawa fenol tercuci air hujan. Tingginya kandungan senyawa fenol di hutan rawa gambut mempunyai pengaruh negatif terhadap akitivitas organisme mikro, baik mirorhiza maupun jamur mikro lainya dan bakteri. Pengaruh negatif ini akan meningkat di hutan rawa gambut yang ditebang. Hal ini disebabkan oleh (Whitten et al., 1988):
1)      Kualitas hara yang rendah dari tanah hutan rawa menyebabkan mikro lebih tergantung pada serasah untuk memperoleh hara.
2)      Kemasaman tanah yang tinggi
3)      Laju produksi serasah rendah akibat produktivitas primer rendah
4)      Kualitas hara yang terkandung di serasah rendah karena proses seleksi selama proses   penarikan kembali hara yang masih bisa  dimanfaatkan sebelum daun gugur.
Dalam ekosistem hutan rawa gambut, hara memasuki sistem melalui aliran hidrologi yang berkaitan  erat dengan curah hujan atau aliran permukaan dan lairan tanah (Lugo, 1982). Namun studi tentang siklus hara di indo malaya, sangat jarang ditemukan. Satu studi tentang dinamika bahan organik di sumatra telah dilakukan oleh Brady (1991) yang menyatakan bahwa salah satu sumber hara yang penting  dalam ekosistem hutan rawa gambut, khususnya gambut ombrogen, adalah air hujan. Dengan demikian, jumlah pasokan hara sangat tergantung dari kualitas air hujan tersebut.
Selain dari curah hujan sumber hara dihutan rawa gambut ombrogen adalah dari bahan organik (gambut) dan dari jaringan tumbuhan hidup (Whitten et al., 1988). Gudang hara (sink) dalam ekosistem rawa gambut pada umumnya adalah air, tanah (organik) dan biomas tumbuhan (Lugo, 1982)
Komponen-komponen ekosistem yang memiliki kapasitas menyimpan fosfor adalah : tanah, kayu diatas tanah, kayu didalam tanah, daun, lapisan serasah, dan air permukaan. Urutan komponen-komponen tersebut untuk menyimpan bahan organik umumnya sama dengan urutannya untuk menyimpan hara mineral. Beberapa unsur biomasa hidup, seperti daun, bunga dam buah menyimpan hara dalam kosentrasi yang besar, sedangkan kayu, tanah dan air menyimpan hara yang lebih lemah. Namun dalam level ekosistem., besarnya jumlah hara yang tersimpan dalam masing-masing unsur biomas tersebut sangat dipengaruhi oleh ukuran unsur biomas tersebut. Unsur biomas yang besar mengandung kosentrasi hara yang kecil, mungkin menyimpan hara yang lebih banyak jumlahnya.
Aliran hara diantara unsur-unsur ekosistem tergantung pada ketersediaan dan pengembalian hara. Suatu hara mineral mungkin tersimpan dalam jumlah besar di satu unsur ekosistem, tetapi tidak dapat dimanfaatkan oleh unsur-unsur ekosistem lainnya, sehingga pergerakan atau aliran hara tersebut terhambat. Untuk bisa dimanfaatkan oleh unsur ekosistem lain, hara tersebut harus dirombak secara kimiawi oleh organisme.
Laju pengembalian hara dari unsur-unsur ekosistem hutan rawa gambut bervariasi menurut jenis mineral. Laju pengembalian hara yang membatasi prduktivitas tumbuhan, seperti nitrogen dan fosfor sangat cepat sedangkan hara-hara yang kurang kritis pengembaliannya lebih lambat (Golley, 1977).
Pada umumnya gambut tropika termasuk yang ada di Sumatera dan Kalimantan secara terus menerus basah dengan muka air tanah di atas atau di dekat permukaan gambut. Pohon-pohon yang ada di wilayah gambut yang masih berhutan, masih berfungsi mempertahankan keseimbangan tingginya permukaan air tanah melalui proses evapotranspirasi yang lambat dan seimbang. Disamping itu  faktor lingkungan  seperti efek penyanggah gambut yang porous, permeabilitas lateral gambut fibrik dibagian tengah kubah, aliran permukaan intensif melalui parit-parit kecil melalui aliran penghubung yang memungkinkan adanya pelepasan air secara melimpah di bagian tepi kubah, yang segera diikuti bagian dalam kubah (karena porous) dari waktu ke waktu yang biasanya dapat diamati sewaktu hari hujan (Wahyunto et al., 2005).
Lahan gambut memegang peranan yang penting dalam sistem hidrologi  suatu lahan rawa. Salah satu sifat gambut yang berperan dalam sistem hodrologi adalah daya menahan air yang dimilikinya. Gambut memiliki daya menahan air yang besar hingga 300-800% dari bobotnya. Selain daya menahan air, gambut juga memiliki daya lepas air yaitu jumlah air yang dilepaskan jika permukaan air diturunkan per satuan kedalaman yang juga besar. Dalam kaitan ini, keberadaan lahan gambut yang sangat dalam ( lebih dari 4 meter) sangat berperan pada konservasi air ( Wetland, 2005; Wahyunto et al., 2005).

1.9  Sistem Kanalisasi
Kanalisasi adalah sistem drainase untuk menyalurkan air hujan, limbah manusia, dan air limbah industri rumah tangga, baik dengan pola pengurasan tanpa membedakan jenis air yang disalurkan, atau dengan pola ganda yang memisahkan jenis-jenis air, atau dengan sistem selokan terbuka, dan dengan menyediakan sumur penampung atau sumur kontrol.
Gambar : kanal pada rawa gambut (sumber : arsip 6A,2014)
Kanal-kanalpun digali dengan maksud memberikan akses pada air tawar yang terdapat pada sungai-sungai besar untuk mencuci gambut agar kandungan racun-racunnya berkurang. Namun yang terjadi sebaliknya, air yang terkandung dalam gambut justru mengalir ke sungai-sungai utama melalui kanal-kanal tersebut sehingga pada musim kemarau gambut menjadi kering. Kini sejuta hektar lahan gambut siap menjadi salah satu penyumbang emisi karbon terbesar. Kanalisasi, inilah penyebab utama mudah terbakarnya lahan gambut. Pada musim kemarau dimana suplai air minim, deposit air yang ada di gambut akan mengalir ke kanal-kanal karena posisinya yang lebih rendah. Sekarang lahan gambut telah kering, yang kita butuhkan hanyalah sumber api untuk menjadikan lahan gambut sebagai sumber emisi. Akibat kanalisasi maka ekosistem gambut akan kehilangan air, sehingga tanah turun kebawah akibatnya tidak ada penyangga.


BAB II
KOMPONEN-KOMPONEN EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT

2.1 Komponen Abiotik Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Abiotik adalah bukan makhluk hidup atau komponen tak hidup. Kompnen abiotik merupakan komponen fisik dan kimia yang membentuk lingkungan abiotik . lingkungan abiotik membentuk ciri fisik dan kimia temepat hidup makhluk hidup contoh kompnen abiotik antara lain suhu, cahaya, air, kelembapan, udara, garam-garam mineral dan tanah. Komponen ini tidak berdiri sendiri, tetapi saling berinteraksi sehingga mempengaruhi sifat yang satu dengan sifat yang lain (Aryulina, 2007).
Untuk komponen abiotik terdiri atas:
1)      Lapisan Humus, adalah lapiasan teratas dari tanah. Merupakan lapisan tanah  yang memiliki tingkat kesuburan yang tinggi.
2)      Serasah adalah tumpukan dedaunan kering, rerantingan, dan berbagai sisa vegetasi lainnya di atas lantai hutan atau kebun. Serasah yang telah membusuk (mengalami dekomposisi) berubah menjadi humus (bunga tanah), dan akhirnya menjadi tanah. Lapisan serasah juga merupakan dunia kecil di atas tanah, yang menyediakan tempat hidup bagi berbagai makhluk terutama para dekomposer. Berbagai jenis kumbang tanah, lipan, kaki seribu, cacing tanah, kapang dan jamur serta bakteri bekerja keras menguraikan bahan-bahan organik yang menumpuk, sehingga menjadi unsur-unsur yang dapat dimanfaatkan kembali oleh makhluk hidup lainnya.
Gambar 10 : serasah pada hutan rawa gambut (sumber : arsip 6A, 2014)

3)      Suhu, Menurut Kartasapoetra, (1987) Suhu dikatakan sebagai derajat panas atau dingin yang dapat diukur berdasarkan skala tertentu dengan manggunakan berbagai thermometer. Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu dimuka bumi dapat dikemukakan sebagai berikut:
a)      Jumlah radiasi yang diterima pertahun-perhari-permusim.
b)      Pengaruh daratan atau lautan
c)      Pengaruh ketinggian tempat
d)     Pengaruh angin secara tak langsung, misalnya angin yang membawa panas dari sumbernya secara horizontal
e)      Pengaruh panas laten, panas yang disimpan dalam atmosfer
f)       Penutup tanah, tanah yang ditutup vegetasi mempunyai temperatur < dari pada tanah tanpa vegetasi
g)      Pengaruh sudut dating  sinar matahari, sinar yang vertikal akan membuat suhu > dari pada yang datangnya miring,
h)      Tipe tanah, tanah-tanah indeks suhunya lebih tinggi.
4)      Kelambapan adalah banyaknya kadar uap air yang ada di udara, dalam hal ini kita mengenal beberapa istilah, anatara lain:
a)      Kelembapan mutlak adalah massa uap air yang berada dalam satusatuan udara yang dinyatakan dalam gr/ m3
b)      Kelembapan spesifik, merupakan perbandingan uap air di udara dengan satuan massa udara yang dinyatakan dalam gr/ kg
c)      Kelambapan relative, merupakan perbandingan jumlah uap air diudara dengan jumlah maksimum uap air yang dikandung secara tertentu yang dinyatakan dalam persen (%). Angka kelembapan  relatif: 0 – 100%, 0% berarti udara kering, 100% artinya udara jenuh dengan uap air yang artinya akan terjadi titik air hujan (Kartasapoetra, 2000).
5)      Asal kata “air” tidak diketahui secara jelas, sehingga banyak pengertian dari air yang dikemukan oleh para ahli, diantaranya yaitu Menurut  Jumin (1987) Air merupakan bahan yang sangat vital bagi kehidupan tanaman. Kekurangan air mengakibatkan terganggunya perkembangan morfologi dan proses fisiologis tanaman. Masalah kekurangan air timbul akibatnya siklus hidrologi di alam tidak merata. Sebagai tindak lanjutnya lahir pemikiran untuk memenuhi kekurangan air yang sering terjadi. Salah –satu ilmu yang mengkaji dan membahas tentang maslah air bagi pertanian adalah ilmu irigasi. Sedangkan menurut Dwidjoseputro (1986) air adalah bahan yang paling banyak didalam sel-sel yang hidup dan air merupakan suatu pelarut yang baik, maka air yang ada dalam sel-sel itu tidak pernah berupa air murni melainkan selalu mengandung zat-zat yang larut, air juga mengandung partikel-partikel bebas yang tidak mungking larut didalamnya.
6)      Cahaya itu terdiri atas partikel-partikel kecil yang disebut foton dan foton ini mempunyai sifat-sifat materi dan gelombang. Foton juga memiliki energi yang dinyatakan dengan kuantum. Berapa banyak energi yang dimiliki oleh cahaya itu tergantung kepada panjang-pendeknya gelombang.  Sinar ungu yang lebih pendek gelombangnya dari pada sinar merah, mempunyai kuantum lebih banyak daripada sinar merah (Dwidjoseputro, 1986).
7)      Iklim adalah kondisi cuaca dalam jangka waktu lama dalam suatu area. Iklim makro meliputi iklim global, regional, dan local. Sedangkan iklm mikro meliputi iklim dalam suatu daerah yang dihuni komunitas tertentu (Sumber: http//id.wikipedia.org/wiki/ekosistem).
A.    Komponen autotrof
Terdiri dari organisme yang dapat membuat makanannya sendiri dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti sinar matahari (fotoautotrof) dan bahan kimia (khemo-autotrof). Komponen autotrof berperan sebagai produsen. Organisme autotrof adalah tumbuhan berklorofil, seperti tanaman yang tumbuh pada lahan gambut.
B.     Komponen heterotrof
Terdiri dari organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik yang disediakan oleh organisme lain sebagai makanannya. Komponen heterotrof disebut juga konsumen makro (fagotrof) karena makanan yang dimakan berukuran lebih kecil. Yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba.

Berikut beberapa karakteristik lingkungan abiotik Kawasan hutan Rawa gambut:
Ø  Kapasitas Menahan Air à Menurut Suhardjo dan Dreissen  Lahan gambut mampu menyerap air hingga 850% dari berat keringnya. Oleh se bab itu, gambut memiliki kemampuan sebagai penghambat air saat musim hujan dan melepaskan air saat musim kemarau. Besarnya kapasitas penahan air lahan gambut menyebabkan penggundulan hutan gambut membuat lingkungan sekitar rawan banjir dan rembesan air laut kedalam tanah.
Ø  Kering Tak Balik (Hydrophobia Irreversible) àSifat lahan gambut yang kering tak balik maksudnya ketika terjadi alih fungsi lahan gambut dan diganti dengan sistem irigasi dan drainase berupa parit menyebabkan lahan gambut kering dan sulit memunculkan fungsinya kembali sekalipun lahan ini dijadikan hutan lagi. Hal ini disebabkan proses terbentuknya lahan gambut yang rumit dan dalam jangka waktu yang panjang.
Ø  Daya hantar Hidrolik à Gambut memiliki daya hantara hidrolik (atau daya penyaluran air) secara horizontal cepat. Dalam artian gambut dapat menghantar unsur hara dengan mudah secara horizontal sedangkan daya penyaluran air vertical yang lambat berarti gambut lapisan luar (atas) cenderung kering meskipun bagian bawah hutan rawa gambut sangat basah  
Ø  Daya tumpu à Pori tanah yang besar dan kerapatan rendah menyebabkan Tanah Gambut memiliki daya tumpu yang lemah. Dengan kata lain tanaman yang tumbuh di hutan ini cenderung murah roboh. Apalagi hutan ini disominasi tumbuhan yang berakar serabut guna mengatur kadar air yang masuk didaerah basah seperti ini.
Ø   Mudah Terbakar à Sifat lahan gambut yang kaya nutrient dan relative kering dipermukaan menyebabkan lahan gambut mudah terbakar. Biasanya kebakaran gambut ini sulit dipadamkan karena cepat menjalar ke lapisan dalam gambut.
Ø  Kesuburan Gambut à Kesuburan gambut dibagi menjadi tiga tingkatan : Eutropik (subur), Mesotropik (sedang) dan Oligotopik (tidak subur). Biasanya lahan yang hanya mengandalkan air hujan sebagai sumber air cenderung lebih tidak subur. Sedangkan lahan yang ikut mengandalkan sumber air sungai relative lebih subur dari yang lainnya.
Ø  Pengikat karbon yang baik àFungsi sebagai pengikat karbon hutan rawa gambut sangat membantu keseimbangan iklim global mengingat emisi karbon diudara dituduh sebagai penyebab utama pemanasan global yang terjadi belakangan.

2.2   Komponen Biotik Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Sebagian besar anggota famili tumbuhan yang terdapat di hutan hujan dataran rendah juga terdapat di hutan rawa gambut, kecuali Combretacea Lythraceae, Protaceae dan Styracaceae. Beberapa jenis yang mencirikan hutan rawa gambut antara lain (Howe et al., 1991; Soerianegara dan indrawan, 1984) : Ramin (Gonystilus bancanus Kurzt. Miq.) Suntai (Palaqium burkii H.J.L), Meranti rawa (Shorea parvifolia Dyer.) dan Punak (Tetrameristra glabra Miq.). Dibandingkan dengan tipe hutan lainnya, hutan rawa gambut termasuk miskin akan jenis, meskipun relatif miskin akan jenis, tetapi hutan rawa gambut memiliki kerapatan pohon yang tinggi (Anderson, 1976; 1983).
Penelitian Laumonier et al., (1984; 1991) dan haryanto (1989;1993) di Pulau Padang Riau menunjukkan bahwa famili yang umum ditemukan pada hutan rawa gambut adalah Guttiferae/Clusiaceae (2 genus, 6 jenis), sedangkan penelitian Laumonier et al., (1984; 1991) di Suaka Margasatwa Danau Besar dan Danau Bawah Riau menunjukkan bahwa famili yang paling umum ditemukan adalah : myrtaceae (2 genus, 6 jenis). Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa anggota famili Guttiferae dan Myrtaceae memiliki kemampuan adaptasi terhadap kondisi hutan rawa gambut yang miskin hara, sering tergenang air yang bersifat sangat masam dan memiliki senyawa fenol tinggi.
Salah satu bentuk adaptasi tumbuhan yang mudah dilihat di hutan rawa gambut adalah terdapatnyaakar nafas (pneumatophore) pada berbagai jenis tumbuhan. Akar nafas merupakan bentuk adaptasi tumbuhan yang umum dijumpai di habitat yang sering digenangi air, misalnya hutan mangrove, hutan rawa dan hutan rawa gambut (Whitmore 1990).
Menurut Istomo (2004) Beberapa jenis tanaman khas rawa gambut adalah:

1)      Tumih (Combretocarpus ratundus)
2)      Mahang (Macaranga spp.)
3)      Pulai (Alstonia pneumatophora)
4)      Milas (Parastemon urophyllum)
5)      Balam-suntai (Palaquium spp.)
6)      Terentang (Camnosperma coreaceum)
7)      Geronggang (Cratoxylon arborencens)
8)      Simpur (Dillenia excelsa)
9)      Jelutung (Dyera lowii)
10)  Gelam (Melaleuca cajuputi)
11)  Ramin (Gonystylus bancanus)
12)  Meranti batu (Shorea uliginosa)


Di Indonesia tipe hutan rawa gambut ini terdapat di dekat pantai timur Pulau Sumatera dan merupakan jalur panjang dari Utara ke Selatan sejajar dengan pantai timur, di Kalimantan mulai dari bagian utara Kalimantan Barat sejajar pantai memanjang ke Selatan dan ke Timur sepanjang pantai selatan sampai ke bagian hilir Sungai Barito. Di samping itu terdapat pula hutan rawa gambut yang luas di bagian selatan Papua.
Jenis-jenis pohon yang banyak terdapat pada tipe hutan ini diantaranya adalah Alstonia spp, Tristania spp, Eugena spp, Cratoxylon arborescens, Tetramerista glabra, Dactylocladus stenostacys, Diospyros spp dan Myristica spp. Jenis-jenis pohon terpenting yang terdapat pada formasi hutan rawa gambut adalah : Campnosperma sp., Alstonia sp., Cratoxylon arborescens, Jackia ornata dan Ploiarium alternifolium).
Menurut Witaatmojo (1975) pada hutan rawa gambut umumnya ada tiga lapisan tajuk, yaitu lapisan tajuk teratas yang dibentuk oleh jenis-jenis ramin (Gonystylus bancanus), mentibu (Dactylocladus stenostachys), jelutung (Dyera lowii), pisang-pisang (Mezzetia parviflora), nyatoh (Palaqium spp), durian hutan (Durio sp), kempas (Koompassia malaccensis) dan jenis-jenis yang umumnya kurang dikenal. Lapisan tajuk tengah yang pada umunya dibentuk oleh jenis jambu-jambuan (Eugenia sp), pelawan (Tristania sp), medang (Litsea spp), kemuning (Xantophyllum spp), mendarahan (Myristica spp) dan kayu malam (Diospyroy spp). Sedangkan lapisan tajuk terbawah terdiri dari jenis suku Annonaceae, anak-anakan pohon dan semak dari jenis Crunis spp, Pandanus spp, Zalaca spp dan tumbuhan bawah lainnya. Tumbuhan merambat diantaranya Uncaria spp.
Sedangkan hewan yang terdapat pada ekosistem hutan rawa gambut antara lain:

1.             Burung Gereja
2.             Ikan Gabus
3.             Ikan puyu
4.             Capung
5.             Kupu – kupu
6.             Zooplankton
7.             Fitoplankton
8.             Jangkrik
9.             Ikan toman
10.         Semut
11.         Harimau
12.         Gajah
13.         Laba – laba




Dokumentasi jenis tumbuhan dan  hewan pada ekosistem hutan rawa gambut :
Text Box: Liana Text Box: Pandan Text Box: Kupu - kupu    

Text Box: Eucalyptus Text Box: Paku-pakuan Text Box: Jamur     

Text Box: Rumput Text Box: Akasia Text Box: Akar jangkang     


Text Box: Akar papan Text Box: Akar tunggang   

BAB III
POLA-POLA INTERAKSI EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT

3.1 Pola-Pola Interaksi Biotik pada Ekosistem Rawa Gambut
       Simbiosis ialah bentuk interaksi yang erat dan khusus antara dua makhluk hidup yang berlainan jenis. Makhluk hidup  yang melakukan simbiotik disebut simbion. Simbiosis parasitisme, yaitu interaksi dua individu atau populasi dinama salah satu individu untung, sedangkan simbion pasangannya rugi.
Komponen-komponen pembentuk ekosistem adalah:
a)      Ikan- Ikan Kecil dan Fitoplankton/Zooplankton à Fitoplankton adalah makan dari ikan-ikan kecil, dimana ikan-ikan kecil akan memakan fitoplankton/zooplankton yang melayang atau berada di dasar perairan guna memenuhi nutrisi untuk tubuhnya.
b)      Dekomposer (pengurai) à Merupakan organisme yang menguraikan sisa organisme untuk memperoleh makanan atau bahan organik yang diperlukan. Penguraian memungkinkan zat-zat organik yang kompleks terurai menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Kemudian dapat dimanfaatkan kembali oleh produsen. Organisme yang termasuk dekomposer adalah bakteri dan jamur (Aryulina, 2007).
Pengurai adalah organisme yang menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati. Pengurai disebut juga konsumen makro (sapotrof) karena makanan yang dimakan berukuran lebih besar. Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen.Yang tergolong pengurai adalah bakteri dan jamur. Ada pula detritivor yaitu hewan pengurai yang memakan sisa-sisa bahan organik, contohnya adalah kutu kayu. Tipe dkomposisi ada tiga, yaitu:
1. secara aerobik : oksigen adalah penerima elektron / oksidan
2. secara anaerobik : oksigen tidak terlibat. Bahan organik sebagai penerima elektron /oksidan
3. Fermentasi : anaerobik namun bahan organik yang teroksidasi juga sebagai penerima elektron.
c)      Produsen à organisme yang dapat menghasilkan makanan dan penyedia makanan untuk makhluk hidup yang lain. Komponen autotrof atau produsen terdiri dari organisme yang dapat membuat makanannya sendiri dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti sinar matahari (fotoautotrof) dan bahan kimia (kemoautotrof). Komponen autotrof berperan sebagai produsen. Yang tergolong autotrof adalah tumbuhan berklorofil.
d)     Konsumen à organisme yang tidak dapat membuat makanannya sendiri dan bergantung pada organisme lain dalam hal makanan. Komponen heterotrof terdiri dari organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik yang disediakan oleh organisme lain sebagai makanannya. Komponen heterotrof disebut juga konsumen makro (fagotrof) karena makanan yang dimakan berukuran lebih kecil. Yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba.

Pola interaksi :
(1)   Predasi àPredasi terjadi antara konsumen tingkat II dan konsumen tingkat I, misalnya jangkrik dan semut (jangkrik sebagai pemangsa dan semut sebagai yang dimangsa).
(2)   Netralisme à adalah hubungan antar organism/populasi yang tidak berpengaruh terhadap organism lainnya.
(3)   Kompetisi à adalah bentuk hubungan antara spesies yang satu dengan yang lain jika terjadi persaingan di antara mereka.
(4)   Simbiosis Komensalisme à adalah hidup bersama antara dua jenis makhluk hidup yang berbeda, salah satunya mendapat keuntungan sementara yang lainnya tidak mendapat keuntungan ataupun kerugian, Contoh: Epifit
(5)   Simbiosis Parasitisme à adalah hidup bersama antara dua jenis makhluk hidup yang berbeda, salah satu makhluk hidup mendapat keuntungan sedangkan makhluk hidup lainnya dirugikan. Contoh:  (a) benalu dan tanaman inang ,
(6)   Antibiosis à Pola interaksi antara dua makhluk hidup yang berbeda, dimana salah satu makhluk hidup menghambat pertumbuhan makhluk hidup lainnya. Contoh tumbuhan eucalyptus dengan tumbuhan lain.

3.2 Pola Rantai Makanan, Jaring-Jaring Makanan, Piramida Biomassa, Piramida Makanan pada Ekosistem Hutan Rawa Gambut
3.2.1. Rantai Makanan
Tumbuhan dan binatang dalam sebuah ekosistem terhubung melalui hubungan makanan. Tanaman berfungsi sebagai produsen dengan menggunakan energi  matahari untuk menghasilkan makanan yang bisa dimakan binatang. Energi yang disimpan dalam dalam tumbuhan sebagai makanan diteruskan keseluruh langsung kekonsumen primer (tingkat pertama) yaitu bnatang-binatang yang memakan tumbuhan dan secara tidak langsung menjadi konsuem sekunder (tingkat kedua), binatang-binatang lain yang memakan konsumen sekunder di sebut konsumen tersier (tingkat ketiga).
Rantai makanan yang terjadi pada Ekosistem Hutan Rawa Gambut adalah sebagai berikut :
 






Setiap rantai makanan mengandung dekomposer (pengurai). Para pengurai ini meliputi bakteri, jamur, dan beberapa jenis serangga yang mengurai materi tumbuhan dan hewan yangmati menjadi mineral dan humus dalam tanah. Dalam proses ini, pengurai mendapatkan energy untuk hidup dari makanan yang diurainya.

3.2.2        Jaring-Jaring Makanan
       Setiap ekosistem mepunyai banyak rantai makanan yang saling terhubung membentuk jarring makanan yang lebih rumit. Hal ini di karenakan binatang sering kali memakan beragam makanansehingga memainkan peranan yang berbeda dalamsejumlah rantai makanan. Binatang dari satu rantai makanan memakan tumbuhan dan binatang dari rantai makanan yang lain. Dengan cara ini, semua mahluk hidup di bumi saling terhubung dalam satu jaringan yang luas dan berkelanjutan.
1.      Daerah pertama (lokasi gambut di siak)
Gambar 12 : kanal pada hutan rawa gambut (sumber : arsip 6A, 2014)


Rantai  makanan :
jangkrik
 
Semut
 
rumput
 
Paku –pakuan
 

2.      Lokasi sungai Mandau
Ikan gabus
 
capung
 
Ikan puyuh
 
fitoplankton
 
zooplankton
 
Gambar 13 : lokasi sungai Mandau kanal pada hutan rawa gambut (sumber: arsip 6A, 2014)


Gambar 14 : aliran air kanal pada hutan rawa gambut (sumber : arsip 6A, 2014)

Gambar 15 : air asam kanal pada hutan rawa gambut (sumber : arsip 6A, 2014)


3.      Text Box: Gambar 16 : Bagan jaring makanan, (sumber : arsip 6A, 2014) Lokasi ketiga ( HTI )
Ulat
 
Angkrang
 
Burung
 
Laba-laba
 
Jangkrik
 
Paku-pakuan 
 
Tanaman gulma
 
Eukaliptus(daun)
 

Rantai makanan pada kanal di HTI:
Ikan toman
 
Ikan-ikan kecil
 
fotoplankton
 
Gambar 17 : HTI eucalyptus (sumber : arsip 6A, 2014)

4.      Lokasi ke-4
Burung
 
Semut
 
Kupu – kupu
 
Paku - pakuan
 
Laba-laba
 
Pandan
 
Bagan 18 : jaring-jaring makanan pada lokasi belum terbakar, (sumber : arsip 6A, 2014)
Gambar 19 : lahan yang terbakar pada hutan rawa gambut (sumber : arsip 6A, 2014)

Burung
 
Semut
 
Jangkrik
 
Sisa2 Kayu
 
Jamur
 
Laba - laba
 
Rumput
 
Bagan 20 : jaring-jaring makanan pada lokasi yang terbakar, (sumber : arsip 6A, 2014)
3.2.3        Piramida Biomassa
Gambar 21 : piramida biomasa, (sumber : arsip 6A,2014)

       Seringkali piramida jumlah yang sederhana kurang membantu dalam memperagakan aliran energi dalam ekosistem. Penggambaran yang lebih realistik dapat disajikan dengan piramida biomassa. Biomassa adalah ukuran berat materi hidup di waktu tertentu. Untuk mengukur biomassa di tiap tingkat trofik maka rata-rata berat organisme di tiap tingkat harus diukur kemudian barulah jumlah organisme di tiap tingkat diperkirakan.
       Piramida biomassa berfungsi menggambarkan perpaduan massa seluruh organisme di habitat tertentu, dan diukur dalam gram. Untuk menghindari kerusakan habitat maka biasanya hanya diambil sedikit sampel dan diukur, kemudian total seluruh biomassa dihitung. Dengan pengukuran seperti ini akan didapat informasi yang lebih akurat tentang apa yang terjadi pada ekosistem. Pada piramida energi terjadi penurunan sejumlah energi berturut-turut yang tersedia di tiap tingkat trofik. Berkurang-nya energi yang terjadi di setiap trofik terjadi karena hal-hal berikut. Hanya sejumlah makanan tertentu yang ditangkap dan dimakan oleh tingkat trofik selanjutnya. Beberapa makanan yang dimakan tidak bisa dicemakan dan  dikeluarkan sebagai sampah. Hanya sebagian makanan yang dicerna menjadi bagian dari  tubuh organisms, sedangkan sisanya digunakan sebagai sumber energi (Elfis, 2010).

3.3     Aliran Energi dan Siklus Materi Ekosistem Rawa Gambut
Aliran energi merupakan rangkaian urutan pemindahan bentuk energi satu ke bentuk energi yang lain dimulai dari sinar matahari lalu ke produsen, konsumen, sampai ke pengurai di dalam tanah. Organisme memerlukan energi untuk mendukung kelangsungan hidupnya, antara lain untuk proses pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, bergerak, dan metabolisme yang ada dalam tubuh (http://www.sentra-edukasi.com/2010/04/pengertian-manfaat-aliran-energi-dalam.html)
Energi dapat diartikan sebagai kemampuan kerja. Energi diperoleh organisme dari makanan yang dikonsumsinya. Cahaya matahari merupakan sumber energi utama kehidupan. Tumbuhan berklorofil memanfaatkan cahaya matahari untuk berfotosintesis. Organisme yang menggunakan cahaya untuk mengubah zat anorganik menjadi zat organik disebut organisme fotoautotrof. Organisme yang menggunakan energi yang didapat dari reaksi kimia untuk membuat makanan disebut organisme kemoautotrof.
Siklus aliran energi ( siklus air)

Daur oksigen dan karbondioksida
Siklus hidrologi panjang
Hampir semua mahkluk hidup membutuhkan air untuk memenuhi kebutuhan demi kelangsungan hidupnya. Menurut sejarah, sejak ribuan tahun sebelum masehi, para tokoh/ilmuwan seperti Hometos, Thales (650 SM), Plato (427 SM), dan Aristoteles (384 SM) telah mencoba untuk menjawab tentang asal-usul air yang ada di mata air, sungai dan lain-lainnya, tetapi belum didapatkan jawaban yang jelasdan memuaskan.
 Proses siklus hidrologiadalah sebagai berikut :
ü  Proses penguapan, karena adanya pemanasan matahari.
ü  Uap air tertiup dan naik pada ketinggian tertentu dan akan mengembun.
ü   Air turun menjadi hujan.
ü  Uap air yang menjadi es di puncak pegunungan, jika terkena suhu panas akan mencair.
ü  Terjadi lagi proses penguapan, begitulah secara alami dan terus menerus.
Air di muka bumi memiliki jumlah yang tetap dan selalu bergerak dalam suatu putaran secara terus-menerus yang disebut siklus hidrologi atau daur hidrologi. Hal ini terjadi akibat pengaruh sinar matahari.
Siklus Hidrologi dibedakan atas tiga jenis, yaitu :
o   Siklus air pendek à Air laut menguap kemudian melalui proses kondensasi berubah menjadi butir-butir air yang halus atau awan dan selanjutnya langsung jatuh ke laut dan akan kembali berulang menjadi hujan.
o   Siklus air sedang à Air laut menguap lalu dibawa oleh angin menuju daratan dan melalui proses kondensasi berubah menjadi awan lalu jatuh sebagai hujan di daratan dan selanjutnya meresap ke dalam tanah lalu kembali ke laut melalui sungai-sungai atau saluran-saluran.
o    Siklus air panjang à Air laut menguap, setelah menjadi awan melalui proses kondensasi, lalu terbawa oleh angin ke tempat yang lebih tinggi di daratan dan terjadilah hujan salju atau es di pegunungan-pegunungan yang tinggi. Bongkahan-bongkahan es mengendap di puncak gunung dan karena gaya beratnya meluncur ke tempat yang lebih rendah, mencair lalu mengalir melalui sungai-sungai kembali ke laut.
Air yang ada di permukaan bumi dan di udara berada dalam bentuk cair, gas, dan padat (es atau salju). Perubahan air dalam tiga bentuk ini memang sangat menakjubkan. Jika terjadi perubahan temperatur, air dapat berubah menjadi es yang disebut membeku (freezing), atau sebaliknya es akan berubah menjadi air yang disebut mencair (melting), dan air yang mencair tersebut dapat pula berubah menjadi gas melalui proses penguapan (evaporation).
3.4              Keterkaitan Antar Komponen Ekosistem
Keberadaan komponen Abiotik yang khas membentuk suatu karakter sendiri pada hutan rawa gambut yang membuat hutan ini berbeda dengan hutan yang lainnya. Keberadaan lahan salin yang dirembesi air asin membuat mangrove dapat hidup pada lahan salin Hutan Rawa Gambut. Sedangkan air yang mendominasi ekosistem ini dan pori tanah yang cukup besar membuat tumbuhan rotan dan tumbuhan lain dapat hidup pada ekosisitem jenis hutan rawa gambut.  Begitu juga manusia sebagai salah satu komponen biotic pada hutan rawa gambut memiliki ketergantungan tersendiri terhadap kawasan ini. Sebagaimana beberapa penduduk wilayah setempat tergantung hidup dari mengolah rotan atau kayu yang berasal dari hutan. Siklus saling ketergantungan inilah yang menciptakan keseimbangan pada ekosisitem rawa gambut ini. Ketika satu rantai keseimbangan pada hutan rawa gambut dirusak, akan menyebabkan kerusakan pada rantai-rantai lain yang saling tergantung. Contohnya ketika manusia terlalu rakus mengeksploitasi rotan dan kayu dihutan, maka akan tercipta penggundulan hutan gambut di titik tertentu hingga aliran air yang ada akan menglirkan unsure hara dan bermuara di sungai atau laut. Hal ini akan menjadikan lahan kering dan rusak hingga fungsinya sebagai pengikat karbon terganggu dan akan menciptakan perubahan iklim global serta bencana banjir. Demikian ketika satu rantai dirusak akan menrusak rantai lain yang ada dalam ekosisitem tersebut termasuk pada hutan rawa gambut.



                                                     

BAB IV
SUKSESI VEGETASI HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU
Komunitas yang terdiri dari berbagai populasi bersifat dinamis dalam interaksinya yang berarti dalam ekosistem mengalami perubahan sepanjang masa. Perkembangan ekosistem menuju kedewasaan dan keseimbangan dikenal sebagai suksesi ekologis atau suksesi. Suksesi terjadi sebagai akibat dari modifikasi lingkungan fisik dalam komunitas atau ekosistem. Proses suksesi berakhir dengan sebuah komunitas atau ekosistem klimaks atau telah tercapai keadaan seimbang (homeostatis).
Di alam ini terdapat dua macam suksesi, yaitu suksesi primer dan suksesi sekunder.
4.1. Suksesi primer
Suksesi primer terjadi bila komunitas asal terganggu. Gangguan ini mengakibatkan hilangnya komunitas asal tersebut secara total sehingga di tempat komunitas asal terbentuk habitat baru. Gangguan ini dapat terjadi secara alami, misalnya tanah longsor, letusan gunung berapi, endapan Lumpur yang baru di muara sungai, dan endapan pasir di pantai. Gangguan dapat pula karena perbuatan manusia misalnya penambangan timah, batubara, dan minyak bumi. Contoh yang terdapat di Indonesia adalah terbentuknya suksesi di Gunung Krakatau yang pernah meletus pada tahun 1883. Di daerah bekas letusan gunung Krakatau mula-mula muncul pioner berupa lumut kerak (liken) serta tumbuhan lumut yang tahan terhadap penyinaran matahari dan kekeringan. Tumbuhan perintis itu mulai mengadakan pelapukan pada daerah permukaan lahan, sehingga terbentuk tanah sederhana. Bila tumbuhan perintis mati maka akan mengundang datangnya pengurai. Zat yang terbentuk karma aktivitas penguraian bercampur dengan hasil pelapukan lahan membentuk tanah yang lebih kompleks susunannya. Dengan adanya tanah ini, biji yang datang dari luar daerah dapat tumbuh dengan subur. Kemudian rumput yang tahan kekeringan tumbuh. Bersamaan dengan itu tumbuhan herba pun tumbuh menggantikan tanaman pioner dengan menaunginya. Kondisi demikian tidak menjadikan pioner subur tapi sebaliknya.
Sementara itu, rumput dan belukar dengan akarnya yang kuat terns mengadakan pelapukan lahan.Bagian tumbuhan yang mati diuraikan oleh jamur sehingga keadaan tanah menjadi lebih tebal. Kemudian semak tumbuh. Tumbuhan semak menaungi rumput dan belukar maka terjadilah kompetisi. Lama kelamaan semak menjadi dominan kemudian pohon mendesak tumbuhan belukar sehingga terbentuklah hutan. Saat itulah ekosistem disebut mencapai kesetimbangan atau dikatakan ekosistem mencapai klimaks, yakni perubahan yang terjadi sangat kecil sehingga tidak banyak mengubah ekosistem itu.
Gambar 22 : suksesi primer (sumber : arsip 6A, 2014)


4.2  Suksesi Sekunder
Suksesi sekunder terjadi bila suatu komunitas mengalami gangguan, balk secara alami maupun buatan. Gangguan tersebut tidak merusak total tempat tumbuh organisme sehingga dalam komunitas tersebut substrat lama dan kehidupan masih ada. Contohnya, gangguan alami misalnya banjir, gelombang taut, kebakaran, angin kencang, dan gangguan buatan seperti penebangan hutan dan pembakaran padang rumput dengan sengaja.
Spurr (1964) menyatakan bahwa suksesi merupakan proses yang terjadi terus menerus yang ditandai oleh perubahan vegetasi, tanah dan iklim mikro dimana proses ini terjadi. Selanjutnya Emlen (1973) menyatakan bahwa suksesi merupakan suatu proses dimana suatu komunitas tumbuhan mencapai suatu keseimbangan dengan melalui tingkat vegetasi dimana masing-masing tingkat diduduki oleh jenis dominan yang berbeda.
Shukla dan Chandel (1982) menyatakan bahwa suksesi adalah suatu proses universal yang kompleks, mulai (awal) berkembang dan akhirnya stabil pada tingkat klimaks. Lebih lanjut dikatakan dimana suksesi pada umumnya progresif dan menghasilkan adanya perubahan habitat dan bentuk kehidupan dalam pertumbuhan tumbuh-tumbuhan. Selanjutnya Soerianegara dan Indrawan (1998) menyatakan bahwa proses suksesi adalah perubahan secara bertahap dan berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi.
 Whittaker (1970) menyatakan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi selama proses suksesi berlangsung adalah sebagai berikut :
ü  Adanya perkembangan dari sifat-sifat tanah, seperti meningkatnya kedalaman tanah, meningkatnya kandungan bahan organik dan meningkatnya perbedaan lapisan horizon tanah.
ü  Terjadinya peningkatan dalam tinggi, kerimbunan dan perbedaan strata dari tumbuh-tumbuhan.
ü  Dengan meningkatnya sifat-sifat tanah dan struktur komunitas, maka produktivitas dan pembentukan bahan organik meningkat.
ü  Keanekaragaman jenis meningkat dari komunitas yang sederhana pada awal tingkat suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi.
ü  Populasi meningkat, pergantian suatu populasi oleh populasi lainnya meningkat sampai tingkat yang stabil juga jenis yang berumur pendek digantikan oleh jenis yang berumur panjang.
ü  Kestabilan relatif dari komunitas meningkat pada awal komunitas tidak stabil dimana populasi secara cepat digantikan oleh populasi lain. Sedangkan pada komunitas akhir biasanya stabil dan dikuasai oleh tumbuh-tumbuhan yang berumur panjang serta komposisi dari komunitas tidak banyak berubah.
Ewusie (1980), menyatakan bahwa ada tiga faktor yang memegang peranan penting dalam terbentuknya suatu komunitas, yaitu :
o   Tersedia kesempatan berkoloni atau bahan-bahan serbuan (invading material) misalnya benih, buah dan spora-spora. Hal ini merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan suatu komunitas tumbuhan pada setiap waktu tertentu. Jadi tergantung bahan yang terbawa ke lokasi tersebut.
o   Seleksi pada bahan-bahan yang tersedia secara alam di lingkungan tersebut. Setelah beberapa benih berkoloni dan semai telah mulai hidup pada habitat tersebut, hanya beberapa saja yang dapat toleran terhadap lingkungan dan dapat tumbuh dengan baik. Lingkungan dapat tidak baik untuk perkecambahan beberapa benih dan juga dapat menekan semai-semai tertentu sampai tidak dapat tumbuh. Tingkat ini adalah tingkat yang kritis, karena secara umum selang toleransi semai lebih sempit daripada tumbuhan yang sudah dewasa. tentunya perbedaan lingkungan menghasilkan perbedaan pada tingkat seleksi. Sebagai kasus yang ekstrim misalnya pada permukaan batuan telanjang atau bukit pasir, di sini hanya beberapa jenis saja yang dapat tumbuh.
o   Modifikasi lingkungan oleh tumbuhan. Dari saat yang akan berkoloni pertama tiba pada habitat telanjang tersebut dan mulai tumbuh, komunitas tumbuhan mulai memodifikasi lingkungan. Pengaruhnya dapat dilihat pada tahap akhir dari perkembangan.
Komunitas hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu komunitas yang dinamis. Komunitas hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere (Soerianegara dan Indrawan, 1998). Prinsip dasar dalam proses suksesi adalah adanya serangkaian perubahan komunitas tumbuhan (jenis dan strukturnya) bersamaan dengan habitat tempat tumbuhnya (Manan, 1979). Sedangkan Emlen (1973), menyatakan bahwa suksesi merupakan suatu proses dimana suatu komunitas tumbuhan mencapai suatu keseimbangan dengan melalui tingkat vegetasi dimana masing-masing tingkat diduduki oleh jenis dominan yang berbeda. Richards (1952) menyatakan bahwa apabila pohon yang besar mati, pohon tersebut akan meninggalkan suatu celah (gap) atau bukaan (opening) di dalam stratum pohon tersebut.
 Pembentukan suatu celah menyebabkan perkembangan tumbuhan bawah yang cepat. Karena dirangsang pertambahan penyinaran dan mungkin oleh berkurangnya persaingan akar setempat, jenis-jenis pohon muda yang intoleran, yang terdapat di sekitar tumbuhan bawah itu akan lebih cepat tumbuh daripada jenis yang toleran. Sedangkan Aweto (1981) dan Abdulhadi et al., (1981) menyatakan bahwa “mature forest” pada suksesi  80 tahun. Jika hutan hujan mengalami±sekunder akan terbentuk  kerusakan oleh alam atau manusia (perladangan atau penebangan) maka suksesi sekunder yang terjadi biasanya dimulai dengan vegetasi rumput atau semak. Selanjutnya Soerianegara dan Indrawan (1998) menyatakan kalau keadaan tanahnya tidak banyak menderita kerusakan oleh erosi, maka setelah 15-20 tahun akan terjadi hutan sekunder muda, dan sesudah 50 tahun terjadi hutan sekunder tua yang secara berangsur-angsur akan mencapai klimaks.
Keanekaragaman jenis akan meningkat dari komunitas yang sederhana pada awal suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi (Whittaker, 1970). Keanekaragaman jenis cendrung lebih tinggi di dalam komunitas yang lebih tua dan rendah dalam komunitas yang baru terbentuk, kemantapan habitat merupakan faktor utama yang mengatur keragaman jenis. Pada komunitas yang lebih stabil, keanekaragaman jenis lebih besar dari komunitas yang sederhana dan cendrung untuk memuncak pada tingkat permulaan dan pertengahan dari proses suksesi dan akan menurun lagi pada tingkat klimaks (Ewel, 1980; Ricklefs, 1973).
Kellman (1970) menyatakan bahwa proses revegetasi tidak berhubungan dengan keadaan hara tanah pada penelitiannya di daerah tropik di Pegunungan Mindanau Filipina. Tanah yang mengalami suksesi antara 1-27 tahun tidak mempengaruhi hara tanah, oleh sebab itu disimpulkan bahwa perubahan kesuburan tanah tidak begitu penting dalam pergantian suksesi. Keadaan lingkungan sekitarnya seperti radiasi dan temperatur udara merupakan faktor yang mempengaruhi perubahan vegetasi. Menurutnya kesimpulan ini bertentangan dengan pernyataan yang berulang-ulang, mengenai pentingnya unsur hara yang merupakan faktor yang menentukan jalanya suksesi sekunder pada hutan hujan tropika.
Selanjutnya Tracey (1960) juga menyatakan bahwa faktor fisik tanah tidak mempunyai pengaruh yang begitu besar dalam menentukan tipe hutan. Goodland dan Pollard (1973) memperlihatkan hubungan yang erat diantara struktur vegetasi dengan unsur N, P dan K pada tanah vegetasi di Cerrado, Brazil. Pada daerah ini terjadi perubahan dari vegetasi herba yang rendah kecil dan jarang, menjadi lebat dimana lapisan tajuk atas 50 % terdiri dari pohon yang tinggi, besar dan pada tanahnya terjadi peningkatan kadar N, P dan K.
Webb (1969) menyatakan bahwa unsur-unsur kimia terutama N, K dan Ca adalah unsur-unsur yang penting untuk menentukan tipe hutan dan kondisi dari kesuburan tanah yang menitik beratkan pada faktor iklim yang menentukan distribusi dari tipe-tipe vegetasi tertentu. Grubb (1977) menyatakan bahwa laju pergerakan dari unsur-unsur hara pada tanah pegunungan tropik dapat menambah keterbatasan unsur hara, ia juga berpendapat bahwa keterbatasan struktur dari hutan hujan pegunungan dapat menyebabkan miskinnya suplai dari N dan P. Suatu contoh yang ekstrim dari respon vegetasi terhadap kondisi tanah adalah rendahnya produktivitas, miskinnya jenis-jenis pohon pada hutan kerangas di daerah tropika (Brunig, 1979; Kartawinata dan Riswan, 1982).
Richards (1952) menyatakan bahwa suksesi pada tanah yang kaya hara tidak jauh berbeda dengan tanah yang miskin hara. Aweto (1981) menyatakan bahwa pada tanah-tanah yang berumur 1,3,7 dan 10 tahun setelah perladangan dan pada hutan primer, peningkatan bahan organik terbatas pada daerah top soil (0-10 cm) dan pada tahun ke sepuluh telah mencapai 78 % dari bahan organik pada hutan primer. Tidak ada perubahan nyata dari nilai pH pada 3 tahun pertama dan setelah itu pH bertambah sampai tahun ke sepuluh. Nilai tukar kation pada lapisan top soil tidak ada peningkatan yang nyata selama tiga tahun pertama, tetapi terdapat peningkatan pada tahun ke tujuh yang diikuti penurunan pada tahun ke sepuluh. Tidak ada peningkatan yang nyata dari nilai tukar kation pada lapisan 10-30 cm.

Gambar 23 : suksesi sekunder yang terjadi pada hutan rawa gambut (sumber : arsip 6A, 2014)
Terjadi suksesi sekunder setelah kebakaran àTerjadi apabila klimaks atau suksesi yang normal terganggu atau dirusak.  Di habitat  tersebut masih ada substrat hidup  atau organisme yang lama.  Telah tampak pada tempat atau lokasi ke-4 yang terjadi kebakaran hanya sebagian lahan saja yang kebakar dan telah tumbuh lumut, serta jamur.
Lumut
 
jamur
 
   
BAB V
PERUBAHAN EKOSISTEM RAWA GAMBUT JIKA TERJADI GANGGUAN
5.1. Ekosistem Rawa Gambut
Ekosistem dan lingkungan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Dalam pembahasan mengenai ekosistem, lingkungan juga akan menjadi objek pembahasan. Secara fisik, lingkungan berarti wadah atau tempat berlangsungnya suatu sistem kehidupan organisme atau suatu komunitas. Kondisi lingkungan akan berubah jika terjadi perubahan di dalam ekosistem atau sebaliknya; masing masing saling mempengaruhi dalam suatu keseimbangan yang dinamis dan merupakan satu kesatuan fungsional (Pratiwi, 2006).
Dengan demikian, ekosistem meliputi seluruh mahluk hidup dan lingkungan fisik yang mengelilinginya, dan merupakan suatu unit yang mencakup semua mahluk hidup dalam suatu area yang memungkinkan terjadinya interaksi dengan lingkungannya, baik yang bersifat abiotik maupun biotik.

5.2 Kerusakan Hutan Rawa Gambut
Selama lebih dari 30 (tiga puluh) tahun terakhir ini, hutan rawa gambut telah mengalami pembalakan, pengeringan, dan perusakan dahsyat akibat adanya berbagai kegiatan yang terkait dengan kehutanan, pertanian, dan perkebunan. Kegiatan pembalakan baik resmi maupun tidak resmi seringkali melibatkan pengeringan gambut selama proses ekstraksinya.
Pada kondisi alaminya yang basah, lahan gambut sebenarnya tidak mungkin untuk mengalami kebakaran besar. Pada kenyataannya, karena telah banyak mengalami kekeringan akibat drainase diantaranya untuk perkebunan maupun pengeluaran kayu, kebakaran kemudian menjadi fenomena umum di lahan gambut. Berbagai kegiatan seperti pembukaan dan persiapan lahan pertanian, perkebunan, pemukiman, penebangan yang tidak terkendali, pembangunan saluran irigasi/parit/kanal untuk perkebunan dan pengeluaran kayu tebangan serta transportasi menyebabkan kerusakan lahan gambut. Kerusakan yang terjadi tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik (subsiden terbakar dan berkurangnya luasan gambut), tetapi juga menyebabkan hilangnya fungsi ekosistem dan ekologis gambut.

Kerusakan Hutan Rawa Gambut saat ini disebabkan oleh:
ü  Tidak memperhatikan karakteristik Ekosistem
ü  Over Eksploitasi
ü   Pembakaran
ü   Konversi
Untuk memperbaiki kerusakan tersebut perlu dilakukan tindakan secara silvikultur yang baik. Sistem Silvikultur 1. Pemilihan Jenis Tanaman Pemilihan jenis tanaman merupakan hal yang sangat penting diperhatikan dalam pengelolaan hutan rawa gambut, karena pertumbuhan jenis tanaman sangat tergantung dengan kondisi tapaknya, jika tanaman sesuai dengan kondisi tapak dan iklim mendukung maka upaya pengelolaan lebih efisien dan efektif


 













Jika kita lihat dari segi tujuan perlindungan, pola pembuatan tanaman secara campur (mix-forest) akan lebih menguntungkan, dengan penanaman hutan secara campur tersebut, akmulasi serasah sebagai salah satu penunjang kebakaran hutan dapat diperkecil dengan catatan seperti curah hujan, suhu dan organisme renik cukup mendukungnya (Sumardi dan Widyastuti, 2002).
Berdasarkan atas tingkat pelapukan (dekomposisi) tanah gambut dibedakan menjadi:
(1)      Gambut kasar (Fibrist ) yaitu gambut yang memiliki lebih dari 2/3 bahan organk kasar;
(2)      Gambut sedang (Hemist) memiliki 1/3-2/3 bahan organik kasar; dan
(3)    Gambut halus (Saprist) jika bahan organik kasar kurang dari 1/3.
       Gambut kasar mempunyai porositas yang tinggi, daya memegang air tinggi, namun unsur hara masih dalam bentuk organik dan sulit tersedia bagi tanaman, draenase merupakan salah satu tindakan dalam pengelolaan sifat fisik, Untuk perbaikan sifat biologi tanah yang lebih baik, saat ini dilakukan dengan inokulasi mikroba pelapuk yang dapat merombak bahan organik dengan cepat, seperti jenis penicilium,micoriza dan rhizhobium dan Pseudomonas. Bakteri-bakteri tersebut juga dapat menambat unsur-unsur sehingga dapat memperbaiki kondisi kimia tanah.
Gambar 25 : kebakaran hutan rawa gambut, (sumber : arsip 6A, 2014)

Sumber: Greenpeace


Beberapa akibat kerusakan Hutan rawa Gambut:
o   Kurang fungsi penyerapan air à Besarnya peran Hutan rawa Gambut yang mampu menyerap 850% dari volume tanah kering menyebabkan ketidak seimbangan hidrologi kawasan sekitar. Ketika hutan rawa gambut dibuka maka air dan nutrient hutan akan keluar dan gambut akan miskin unsure hara dan sangat kering. Fungsi pengikat air ini sendiri tidak dapat dipulihkan lagi dalam waktu yang singkat.
o   Dangkalnya unsure hara pada hutan rawa gambut à Hal ini menyebabkan penurunan permukaan tanah hingga tumbuhan yang mampu bertahan makin berkurang, gersang, dan tidak ada lagi hewan yang mampu hidup. Hal ini mengancam keberlanjutan hewan-hewan langka yang hidup didalamnya. Dan ketika musim hujan, ancaman banjir akan semakin besar meskipun hutan ini telah diganti dengan parit dan system drainase yang baik.
o   Pemanasan Global tinggi karna karbon hilang à Lahan gambut merupakan pengikat karbon yang baik. Jika lahan gambut berkurang, karbon yang dilepaskan akan semakin banyak, Karbon lapisan ozon akan membengkak hingga merusak ozon. Demikian Lahan gambut harus dipertahankan.
o   Penurunan Permukaan tanah menimbulkan genangan air yang sifatnya permanen. Selain itu penurunan lahan bergambut menyebabkan lahan mongering dan semakin mempertinggi peluang terjadinya kebakaran lahan
o   Lahan yang rusak dan tidak produktif lagi biasanya akan ditinggalkan oleh penduduk.

Kerugian Kerusakan Hutan rawa Gambut
o   Kerugian ekologis : menurunnya kualitas ekologis sebagai system penyangga, kurang jenis flora dan fauna yang merupakan sumber plasma nutfah, berubahnya fungsi hidrologi dan pola hujan local dan regional.
o   Kerugian estetis dan nilai alamiah : hutan wisata berkurang dan kenyamanan berkurang, keseimbangan ilmiah ekosistem rusak.
o   Kerugian sosial : berkurangnya mata pencarian hidup penduduk
Gambar 26 : akibat kebakaran hutan rawa gambut, (sumber : arsip 6A, 2014)

Sumber: Greenpeace
Beberapa Strategi Pertahanan Hutan Rawa Gambut
*      Pengurangan kanal karena dapat membuat tanah turun dan menyebabkan serasah kering sehingga air dari tanah gambut berkurang.
*      Rehabilitasi hutan
*      Kajian kebijakan
*      Patroli intensif (Pembentukan unit pengamanan hutan regional)
*      Penjelasan status kepemilikan lahan, Pembentukan hutan tanaman industry (HTI) bekerja sama dengan masyarakat.
*      Kampanye kesadaran lingkungan
*      Pelarangan penebangan jenis kayu tertentu

Rawa gambut yang sudah terdegradasi
Rawa gambut sebelum terdegradasi
ü  Karena telah banyak HTI pada lahan gambut tumbuhan yang ditemukan adalah akasia, eukaliptus, ramin, meranti serta tumbuhan ini merupakan bukan tumbuhan asli dari habitat rawa gambut.
ü  Karena telah berkurangnya habitat asli maka ekosistem jarring serta rantai makanan pun tidak stabil  karena hewannya berkurang, berakibatkan siklus aliran energi serta ssiklus energi pada ekosistem ini berjalan lambat.
ü  Proses humufikasi tanah menjadi lambat karena kekurangan pengurai serta hewan dalam lahan gambut tersebut.
ü  Banyaknya kanal menyebabkan berbagai kerugian yaitu ekosistem gambut kehilangan air, akibatnya tanah akan turun kebawah, serta tidak adanya penyanggah.
ü  Pada rawa gambut yang telah terdegradasi sudah tidak terdapat lagi jenis tumbuhan aslinya. Karena telah mengalami kerusakan akibat ulah manusia, bencana alam. Yang mengakibatkan suksesi primer.
ü  Jenis-jenis pohon yang banyak terdapat pada tipe hutan ini diantaranya adalah Alstonia spp, Tristania spp, Eugena spp, Cratoxylon arborescens, Tetramerista glabra, Dactylocladus stenostacys, Diospyros spp dan Myristica spp. Jenis-jenis pohon terpenting yang terdapat pada formasi hutan rawa gambut adalah : Campnosperma sp., Alstonia sp., Cratoxylon arborescens, Jackia ornata dan Ploiarium alternifolium).


Degradasi lahan gambut adalah perubahan yang mengarah pada kerusakan di lahan gambut. Lahan gambut terdegradasi disebabkan karena eksploitasi materi hutan yang berlebihan tanpa ada usaha pemulihan kondisi kembali bahkan lahan gambut sering sengaja dibakar untuk mangalihkan fungsinya menjadi penggunaan lahan lain sehingga lapisan gambutnya hilang yang akhirnya menjadi lahan terlantar karena miskin hara dan tidak dapat dimanfaatkan lagi (http://iccc-network.net).



DAFTAR PUSTAKA

Adhi, W. 1986. Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut dan lebak. Jurnal Litbank Pertanian 5: 1-9.

anonym(2010). Pengertian manfaat aliran energi. Available at: http://www.sentra-edukasi.com/2010/04/pengertian-manfaat-aliran-energi dalam.html diakses 10 mei 2014.




Buckman , H.O. And. N. C Brady. 1982. Ilmu tanah (terjemahan). Penerbit Bharata Karya Akasia, Jakarta
Departemen Kehutanan. 2005. Statistik Kehutanan. Depertemen kehutanan, Jakarta.
Daniel, T.W., Helms and .F. S. Baker. 1995. Prinsip-prinsip silvikultur. (Terjemahan). Gajah Mada University  Pres.Yogyakatra.
Driessen, P.M. 1977. Formation, Properties, Reclamation and Agricultural Potential of indonesian ombrogeneos lolwland peats. Soil Reseaceha Intitute. Bogor
Elfis. 2010. Struktur floristik ekosistem hutan rawa. Available at: http://elfisuir.blogspot.com/2010/06/struktur-floristik-ekosistem-hutan-rawa.html diakses 10 mei 2014

Golley, F.B. (Ed.). 1977. Ecological Succession. Benchmark Papers In Ecology V. 5. Dowden. Hutchinson and Rose, Inc., Stroudsburg. Pennsylvania


valentina, novia. 2011. Ekosistem rawa gambut. Available at: http://noviavalentina.blogspot.com/2011/04/ekosistem-rawa-gambut.html diakses 10 mei 2014