EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT 6A BIOLOGI
Sabtu, 28 Juni 2014
hutan rawa gambut
BAB I
EKOSISTEM
HUTAN RAWA GAMBUT
1.1
Pengertian
1.1.1
pengertian
ekosistem
Ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh
menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang berpengaruh. Ekosistem
merupakan hubungan timbal balik yang kompleks antara organisme dan
lingkungannya baik yang hidup maupun tak hidup yang secara bersama-sama
membentuk suatu sistem ekologi. Ekosistem
juga merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Gumilar, 2010).
Ekosistem merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem yang
melibatkan interaksi timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi
menuju kepada suatu struktur biotik tertentu dan
terjadi suatu siklus materi antara organisme dan anorganisme. Matahari
sebagai sumber dari semua energi yang ada (Gumilar, 2010).
Ekosistem
juga merupakan suatu interaksi yang kompleks dan memiliki penyusun yang
beragam. Dibumi ada bermacam-macam ekosistem. Secara singkat ekosistem berarti
sistem yang berlangsung dalam suatu Lingkungan. Di dalam lingkungan terdapat
komponen-komponen, baik komponen fisik (benda
hidup/biotik dan benda mati/abiotik) maupun komponen non fisik berupa
hubungan manfaat suatu benda terhadap benda lainnya (trofik). Di dalam lingkungan juga terjadi suatu fenomena
dinamika yang menyangkut hubungan interaksi antar kelompok fisik, atau dapat
dikatakan bahwa di dalam lingkungan tersebut terjadi suatu sistem yang dinamis (Gumilar, 2010).
Unit ekologis adalah ekosistem, yang merupakan sebuah kelompok yang terdiri
atas beragan populasi yang berinteraksi dalam suatu daerah tertentu. Daerah
tersebut ( habitat), bisa jadi hanya sekecil kolam local ataupun seluas gurun
sahara, Berbagai populasi yang
berinteraksi. Setiap ekosistem dalam suatu wilayah selalu mengalami
perkembangan menuju ke arah keseimbangan. Ekosistem, yaitu tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara
segenap unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi (UU Lingkungan Hidup
Tahun 1997). Unsur-unsur lingkungan hidup baik unsur biotik maupun abiotik,
baik makhluk hidup maupun benda mati, semuanya tersusun sebagai satu kesatuan
dalam ekosistem yang masing-masing tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa hidup
sendiri, melainkan saling berhubungan, saling mempengaruhi, saling
berinteraksi, sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan.
Perkembangan ekosistem tersebut tergantung dari
pola perkembangan komunitas yang ada di dalamnya. Secara umum perkembangan
ekosistem yang dikenal dengan suksesi ekologi ini, melalui beberapa
tahapan-tahapan perkembangan yang disebut sere. Setiap sere memberikan
ciri-ciri khas tersendiri tergantung dari jenis-jenis dominan yang ada dan
faktor pembatas fisiknya (Gumilar, 2010)
1.1.2
Pengertian hutan
Hutan
dipandang sebagai suatu ekosistem adalah sangat tepat, mengingat hutan itu
dibentuk atau disusun oleh banyak komponen yang masing-masing komponen tidak
bisa berdiri sendiri, tidak bisa dipisah-pisahkan, bahkan saling memengaruhi
dan saling bergantung.
1. Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan
(UU RI No. 41 Tahun 1999).
2. Hutan adalah lapangan yang ditumbuhi
pepohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati
beserta alam lingkungannya atau ekosistem (Kadri dkk., 1992).
3. Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan
yang dikuasai atau didominasi oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan
yang berbeda dengan keadaan diluar hutan (Soerianegara dan Indrawan, 1982).
4. Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan
dan binatang yang hidup dalam lapisan dan di permukaan tanah dan terletak pada
suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam
keseimbangan dinamis (Arief, 1994).
1.1.3
Pengertian rawa gambut
Hutan rawa gambut merupakan hutan dengan lahan
basah yang tergenang yang biasanya terletak di belakang tanggul sungai
(backswanp). Hutan ini didominasi oleh tanah-tanah yang berkembang dari
tumpukan bahan organik, yang lebih dikenal sebagai tanah gambut atau tanah
organic (Histosols). Dalam skala besar, hutan ini membentuk kubah (dome) dan
terletak diantara dua sungai besar.
Tabel 1 : formasi hutan lahan basah di daerah tropika
menurut karakteristik habitat fisiknya
Iklim
|
Air tanah/Lokasi
|
Tanah
|
Elevasi
|
Formasi hutan
|
|
Selalu basah
|
Muka air tanah (water table)
tinggi, paling tidak secara periodic.
|
Daerah pantai (air asin)
|
Substrat lumpu
|
Dataran rendah pantai
|
1 hutan rawa mangrove
2. hutan nipah (brackish water
forest)
|
Daerah pedalaman (air tawar)
|
Gambut oligotrofik
|
Dataran rendah
|
3 Hutan rawa gambut
|
||
|
Tanah eutrofik (muck dan tanah
mineral)
|
Dataran rendah selalu tergenang
|
4 hutan
rawa
|
||
Tergenang secara periodik
|
5 Hutan
rawa musiman
|
Hutan rawa gambut merupakan
kombinasi tipe hutan formasi klimatis (climaticformation)
dengan tipe hutan formasi edaphis (edaphic
formation). Faktor iklim
yang mempengaruhi
pembentukan vegetasi adalah temperatur, kelembaban, intensitas cahaya dan angin. Hutan rawa gambut terdapat pada
daerah-daerah tipe iklim A dan B dan tanah organosol dengan lapisan
gambut setebal 50 cm atau lebih.
Gambar 1: Ekosistem Hutan Rawa Gambut (Sumber: Arsip Biologi 6A, 2014)
1.2 ProsesTerjadinya Hutan Rawa Gambut
Hutan rawa gambut
terbentuk dalam 10.000 – 40.000 tahun. Awalnya berupa cekungan yang
menahan air tidak bisa keluar. Setelah 5.000 tahun, maka permukaan akan naik. Lama-kelamaan
hutan rawa gambut secara bertahap akan tumbuh. Karena air tidak keluar dan
terjadi pembusukan kayu, maka terjadi penumpukan nutrient. Kalau kawasan rawa
gambut dibuka, maka air dan nutriennya akan keluar, dan yang akan terjadi adalah
kawasan rawa gambut akan dangkal dan unsur hara sangat sedikit.
Gambar 3 : Proses pembentukan gambut di Indonesia (Noor,
2001), (sumber : arsip 6A, 2014)
Berdasarkan kandungan bahan organik,
dikenal dua golongan tanah yaitu tanah mineral yang mengandung bahan organik
berkisar antara 15 % sampai dengan 20 % dan tanah organik yang mengandung bahan
organik berkisar antara 20 % sampai dengan 25 % bahkan kadang-kadang sampai 90
% mengandung bahan organik (Buckman dan Brady, 1982). Asian Wetland Beraue dan
Ditjen PHPA (1993) dalam Koesmawadi (1996) mengemukakan bahwa hutan rawa gambut
merupakan statu ekosistem yang unik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (a) selalu
tergenang air, (b) komposisi jenis pon beraneka ragam, mulai dari tegakan
sejenis seperti jenis Calophyllum inophyllum Mix. Sampai tegakan campuran, (c)
terdapat lapisan gambut pada lantai hutan, (d) mempunyai perakaran yang khas,
dan (e) dapat tumbuh pada tanah yang bersifat masam.
Gambar 4 : tanah asam (air asam) pada
rawa gambut, sumber : arsip 6A, 2014)
1.3
Komposisi Gambut
Gambut adalah sisa timbunan tumbuhan yang telah mati dan kemudian
diuraikan oleh bakteri anaerobik dan aerobik menjadi komponen ang lebih stabil.
Selain zat organik yang gambut terdapat juga zat anorganik dalam jumlah yang
kecil. Di lingkungan pengendapannya gambut ini selalu dalam keadaan jenuh air
(lebih dari 90%). Zat organik pembentuk sama dengan tumbuhan dalam perbandingan
yang berlainan sesuai dengan tingkat pembusukannya. Zat organik tersebut
terdiri dari cellulosa, lignin, bitumin (wak dan resin), humus dan lain-lain.
Komposisi zat organik ini tidak stabil tergantung pada proses
pembusukan, misalnya cellulosa pada tingkat pembusukan dini (H1-H2) sebanyak
15-20 % tetapi pada tingkat pembusukan lanjut (H9-H10) hampir tidak ditemukan.
Sebaliknya humus pada cellulosa pada tingkat pembusukan dani terdapat 0-15 %,
sedangkan pada gambut yang telah mengalami pelapukan yang lebih tinggi (H9-H10)
mencapai 50-60 %. Unsur –unsur pembentukan gambut sebagai besar terdiri dari
karbon (C),hidrogen (H),nitrogen (N) dan oksigen (O). selain unsur utama
terdapat juga unsur lain Al,Si,S,P,Ca. dan lain-lain dalam bentuk terikat.
Tingkat pembusukan pada gambut akan menaikkan kadar karbon (C) dan menurunkan
oksigen (O).
Gambar 5 : komposisi gambut, (sumber
: arsip 6A, 2014)
Daerah gambut topogenus lebih bermanfaat untuk lahan pertanian
dibandingkan dengan daerah gambut ombrogenus karena gambut topogenus mengandung
relatif lebih banyak nutrisi. Kedua jenis gambut tersebut pada hakikatnya
secara megaskopis agak sukar didefenisikan secara pasti karena kompleksnya
tahapan proses pembusukan. Komposisi gambut menentukan mutu dan kegunaannya
yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kandungan zat organik,abu,bulk
density,kandungan kayu dan lain-lain.
1.4 Klimatologis
ekosistem hutan rawa gambut
Cuaca
dan iklim memiliki peranan yang penting dalam kehidupan manusia. Cuaca dan
iklim merupakan salah satu komponen ekosistem alam. Kehidupan manusia sangat
dipengaruhi oleh keadaan cuaca dan iklim, mulai dari jenis pakaian, makanan,
bentuk rumah, pekerjaan sampai rekresi tidak terlepas dari pengaruh atmosfer
beserta proses - prosesnya. Cuaca dan iklim selalu menyertai dan mempengaruhi
kehidupan manusia di bumi. Ilmu yang mempelajari tentang cuaca dan iklim adalah
meteorologi dan klimatologi.
Meteorologi adalah ilmu
yang mempelajari tentang proses - proses fisika yang terjadi di atmosfer pada
saat tertentu, beserta fenomena - fenomena fisik di atmosfer. Klimatologi
didefinisikan sebagai ilmu yang memberi gambaran dan penjelasan penjelasan sifat
iklim, perbedaan iklim di berbagai tempat dan kaitan antara iklim dan aktivitas
manusia, mempelajari jenis iklim di muka bumi dan faktor penyebabnya.
Klimatologi adalah ilmu yang mempelajari atau
menyelidiki tentang iklim. Yang dimaksud dengan iklim adalah keadaan cuaca pada
suatu daerah tertentu pada jangka waktu yang panjang. Sedangkan cuaca adalah
keadaan atmosfer pada suatu waktu (Wikipedia, 2013). Klimatologi ialah ilmu yang menelaah tentang
karakteristik iklim antar wilayah. Klimatologi ini lebih ditekankan pada
atas rata-rata dari unsur-unsur iklim
yang menjadi cirri dari suatu wilayah. Informasi klimatologi dapat digunakan
sebagai penduga keadaan suhu, kelembaban udara, intensitas cahaya, curah hujan,
dan angin pada suatu wilayah pada waktu tertentu (Lakitan, 2002).
Klimatologi dibagi menjadi dua yaitu makro klimatologi dan mikro
klimatologi. Makro klimatologi adalah klimatologi yang mempelajari sifat-sifat
atmosfer pada daerah yang luas. Sedangkan mikro klimatologi adalah klimatologi
iklim pada daerah yang sempit. Klimatologi sangat penting bagi ekologi
tumbuhan. Dikontraskan dengan meteorologi yang mempelajari cuaca jangka pendek
yang berakhir sampai beberapa minggu, klimatologi mempelajari frekuensi dimana
sistem cuaca ini terjadi (thesproduction Blogspot, 2008).
Iklim juga akan mempengaruhi jenis tanaman yang sesuai untuk
dibudidayakan pada suatu kawasan, penjadwalan budi daya pertanian, dan teknik
budi daya yang dilakukan petani. Pengetahuan tentang iklim sangat penting
artinya dalam sektor pertanian. Keeratan hubungan antara klimatologi (dan
meteorologi) dengan ilmu pertanian tercermin dengan berkembangnya cabang
klimatologi dan meteorologi yang khusus dikaitkan dengan kegaitan pertanian,
yang disebut sebagai klimatologi pertanian dan meteorologi pertanian (Lakitan,
2002).
Menurut Elfis (2010)
unsur-unsur klimatologis terdiri dari :
o
Tanah
o
Curah
Hujan
o
Angin
o
Cahaya
matahari
o
Temperatur
o
Lengas
udara
DATA KLIMATOLOGIS UNTUK EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT
Hutan Rawa Gambut Di Kecamatan Sungai Mandau Kabupaten Siak
PENGUKURAN IKLIM
PERIODE APRIL-DESEMBER 2013
JANUARI –MARET 2014
(Berdasaran
rekapitulasi data klimatologis sekunder
dari Stasiun Mini Meteorologi
Dinas Pertanian Kabupaten Siak )
A.
Rata-rata intensitas radiasi matahari (Watt/m2)
No
|
Bulan
|
Radiasi
harian (Watt/m2/menit)
|
||||||
9.00
|
10.00
|
11.00
|
12.00
|
13.00
|
14.00
|
15.00
|
||
1.
|
April
|
103,9522
|
103,3915
|
103,3522
|
102,0316
|
103,6935
|
103,0290
|
103,0290
|
2.
|
Mei
|
142,0522
|
142,6222
|
142,2296
|
102,2292
|
142,2322
|
142,0220
|
142,0220
|
3.
|
Juni
|
110,2032
|
163,0222
|
110,3122
|
103,2251
|
103,9223
|
102,9321
|
102,9321
|
4.
|
Juli
|
103,9621
|
1036621
|
103,5321
|
132,2226
|
102,2225
|
103,2223
|
103,2223
|
5.
|
Agustus
|
102,9660
|
103,9922
|
103,0150
|
102,1052
|
103,3105
|
103,0222
|
103,0222
|
6.
|
September
|
102,2252
|
102,2322
|
103,6623
|
100,5391
|
103,2222
|
102,6622
|
102,6622
|
7.
|
Oktober
|
102,2662
|
102,9921
|
103,0222
|
102,6225
|
102,9920
|
103,6692
|
103,6692
|
8.
|
November
|
102,6666
|
102,2251
|
103,6692
|
103,9210
|
103,6623
|
103,9635
|
103,9635
|
9.
|
Desember
|
102,9660
|
103,9922
|
103,0150
|
102,1052
|
103,3105
|
103,0222
|
103,0222
|
10.
|
Januari
|
102,2252
|
102,2322
|
103,6623
|
100,5391
|
103,2222
|
102,6622
|
102,6622
|
11.
|
Februari
|
102,2662
|
102,9921
|
103,0222
|
102,6225
|
102,9920
|
103,6692
|
103,6692
|
12.
|
Maret
|
102,6666
|
102,2251
|
103,6692
|
103,9210
|
1036623
|
103,9635
|
103,9635
|
B.
Rata-rata suhu udara (oC)
No.
|
Bulan
|
Suhu udara harian (oC)
|
||||||
9.00
|
10.00
|
11.00
|
12.00
|
13.00
|
14.00
|
15.00
|
||
1.
|
April
|
26,1
|
26,0
|
26,0
|
26,5
|
26,2
|
26,1
|
26,1
|
2.
|
Mei
|
28,1
|
26,1
|
26,5
|
29,1
|
29,1
|
26,2
|
26,2
|
3.
|
Juni
|
26,1
|
26,4
|
29,0
|
28,0
|
28,1
|
29,1
|
29,1
|
4.
|
Juli
|
26,4
|
26,2
|
29,2
|
28,5
|
28,4
|
28,1
|
29,1
|
5.
|
Agustus
|
26,5
|
29,1
|
26,2
|
28,0
|
28,1
|
29,1
|
26,1
|
6.
|
September
|
28,1
|
26,1
|
26,1
|
28,4
|
29,2
|
29,1
|
26,0
|
7.
|
Oktober
|
28,4
|
26,1
|
26,1
|
28,1
|
29,1
|
29,1
|
26,1
|
8.
|
November
|
28,1
|
26,1
|
26,4
|
29,0
|
29,1
|
26,5
|
26,2
|
9.
|
Desember
|
26,5
|
29,1
|
26,2
|
28,0
|
28,1
|
29,1
|
26,1
|
10.
|
Januari
|
28,1
|
26,1
|
26,1
|
28,4
|
29,2
|
29,1
|
26,0
|
11.
|
Februari
|
28,4
|
26,1
|
26,1
|
28,1
|
29,1
|
29,1
|
26,1
|
12.
|
Maret
|
28,1
|
26,1
|
26,4
|
29,0
|
29,1
|
26,5
|
26,2
|
C. Rata-rata kelembaban udara (%)
No.
|
Bulan
|
Kelembaban udara
harian (%)
|
||||||
9.00
|
10.00
|
11.00
|
12.00
|
13.00
|
14.00
|
15.00
|
||
1.
|
April
|
66
|
64
|
64
|
64
|
66
|
65
|
65
|
2.
|
Mei
|
65
|
61
|
64
|
63
|
64
|
64
|
64
|
3.
|
Juni
|
69
|
66
|
65
|
64
|
64
|
65
|
64
|
4.
|
Juli
|
62
|
64
|
65
|
61
|
61
|
64
|
64
|
5.
|
Agustus
|
66
|
64
|
63
|
65
|
66
|
64
|
65
|
6.
|
September
|
63
|
62
|
65
|
65
|
65
|
66
|
64
|
7.
|
Oktober
|
64
|
62
|
65
|
64
|
64
|
66
|
69
|
8.
|
November
|
65
|
64
|
62
|
69
|
66
|
66
|
69
|
9.
|
Desember
|
62
|
64
|
65
|
61
|
61
|
64
|
64
|
10.
|
Januari
|
66
|
64
|
63
|
65
|
66
|
64
|
65
|
11.
|
Februari
|
63
|
62
|
65
|
65
|
65
|
66
|
64
|
12.
|
Maret
|
64
|
62
|
65
|
64
|
64
|
66
|
69
|
Selanjutnya menurut Lakitan (2002), iklim merupakan salah satu faktor
(selain tanah) yang akan mempengaruhi distribusi tumbuhan. Wilayah dengan
kondisi iklim tertentu akan didominasi oleh spesies-spesies tumbuhan tertentu,
yakni speseis tumbuhan yang dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim
tersebut. Berdasarkan keterkaitan yang erat antara kondisi iklim dengan spesies
tumbuhan yang dominan pada suatu wilayah, beberapa ahli membuat klasifikasi
iklim berdasarkan jenis tumbuhan yang dominan (beradaptasi baik) pada wilayah
tersebut.
1.5 Ciri –Ciri Ekosistem Rawa Gambut
Menurut penjelasan Elfis, yang menjadi ciri khas rawa
gambut
1)
Warna air hitam, hal itu terkait dengan tingginya
kandungan bahan organik
2)
Tanaman rawa gambut tumbuh di atas humus
3)
Tinggi tanaman rata-rata sama.
4)
Diameter batang tanaman besar
5)
Tanamannya lambat besar dibandingkan tanaman darat.
1.6
Klasifikasi Ekosistem Rawa Gambut
Menurut sistem kalsifikasi
taksonomi tanah (USDA, 1975) tanah gambut termasuk kedalam ordo histosol, yaitu
tanah dengan kandungan bahan organik lebih dari 20 % tekstur pasir atau lebih
dari 30 % tekstur liat. Lapisan yang mengandung bahan organik tinggi tersebut
tebalnya lebih dari 40 cm. Menurut sistem klasifikasi tersebut, ordo histosol
berdasarkan bahan asal dan tingkat perombakannya dibedakan menjadi empat
sub-ordo, yaitu folist, fibrist, hemist dan saprist. Sub-ordo tersebut
berdasarkan kandungan atau ketebalan bahan penciri dan temperaturnya dibedakan
menjadi beberapa kelompok besar. Untuk daerah tropika nama-nama kelompok besar
antara lain: tropofolist, tropofibrist, tropohemist dan troposaprist. Kelompok
besar ini secara umum mempunyai perbedaan temperatur rata-rata musim panas dan
dingin kurang dari 50 C.
1.7 Pemanfaatan Gambut
1.7.1 Hutan Tanaman Industri
Perhatikan pakar hutan terhadap sumberdaya gambut terus
bertambah, setelah kemampuannya untuk mendukung kegiatan di berbagai gatra
kehutanan semakin nyata. Pembangunan hutan tanaman industri (HTI) yang mulai di
galakkan pada awal tahun 1980-an, merupakan pemicu penting bagi pengkajian dan
pemanfaatan bahan gambut. Bahan gambut banyak di manfaatkan sebagai media semai
tanaman hutan untuk menunjang pembangunan HTI.
Gambar 6 : tanaman
eucalyptus (HTI) pada hutan rawa gambut (sumber : Arsip 6A, 2014)
Dalam rangka pemanfaatan sumber daya
gambut ini ternyata banyak kendala yang belum mampu diatasi, sehingga
menghambat pemanfaatannya secara optimal. Masih banyak watak bahan gambut yang
belum terkaji tuntas, sehingga sering kali bereaksi jauh dari keinginan
pengelolanya.
Masalah pemahaman watak gambut ini perlu
di tuntaskan, untuk mencegah pemanfaatan yang mengancam kelestariannya. Hal ini
jelas merupakan sesuatu yang merugikan, karena pembentukan gambut memerlukan
waktu sangat lama. Kecerobohan pemanfaatannya berarti menyia-nyiakan kemampuan
maksimalnya. Pemanfaatan sumber daya
gambut hendaknya dilakukan secara terpadu, terorganisasi baik dan terkendali,
untuk menghindari pemanfaatan yang tidak bertanggung jawab.
1.7.2
Fungsi
dan Manfaat Ekosistem Gambut
Fungsi dan manfaat ekosistem gambut mengacu pada kegunaan, baik langsung
maupun tidak langsung bagi masyarakat. Beberapa fungsi dan manfaat dapat
diringkas pada Tabel 2:
Fungsi
Hutan Rawa Gambut Tropis
|
Manfaat dan
Penggunaan
|
Pengaturan
banjir dan arus larian
|
Mitigasi banjir dan
kekeringan di wilayah hilir. Gambut memiliki porositas yang tinggi sehingga
mempunyai daya serap air yang sangat besar. Menurut jenisnya, gambut saprik,
hemik, dan fibrik dapat menampung air berturut-turut sebesar 451% (empat
ratus lima puluh satu per seratus), 450-850% (empat ratus lima puluh hingga
delapan ratus lima puluh per seratus), dan lebih dari 850% (delapan ratus
lima puluh per seratus) dari bobot keringnya atau hingga 90% (sembilan puluh
per seratus) dari volumenya.
Karena sifatnya itu, gambut
memiliki kemampuan sebagai penambat (reservoir) air tawar yang cukup
besar sehingga dapat menahan banjir saat musim hujan dan sebaliknya
melepaskan air tersebut pada musim kemarau.
|
Pencegahan
instrusi air laut
|
Kegiatan pertanian di
wilayah pasang surut akan memperoleh manfaat besar dari keberadaan rawa
gambut di wilayah hulu, sebagai sumber air tawar untuk irigasi dan memasok
air tawar secara terus menerus guna menghindari atau mitigasi intrusi air
asin.
|
Pasokan air
|
Di beberapa wilayah pedesaan
pesisir, rawa gambut bisa jadi merupakan sumber air yang dapat digunakan
untuk keperluan minum dan irigasi untuk beberapa bulan selama setahun.
|
Stabilisasi
iklim
|
|
Penyimpanan
karbon
|
Nilai keanekaragaman hayati
yang dapat ditangkap diperkirakan sebesar US $ 3 (tiga) per hektar per tahun,
tidak termasuk nilai intrinsik jenis, potensi ekowisata serta bahan-bahan farmasi
yang dapat dipasarkan secara internasional (Tacconi 2003). Hutan rawa
gambut di asia tenggara semakin menunjukkan peran pentingnya sebagai bank
gen, terutama karena semakin menyusutnya peran hutan dataran rendah akibat
kegiatan pembalakan dan konversi lahan. Bagi berbagai jenis satwa, lahan
gambut menyediakan habitat yang sangat penting, khususnya pada wilayah yang
bersambung dengan air tawar dan hutan bakau.
|
habitat
hidup liar
|
Meskipun tidak sebanyak di
ekosistem hutan tropis, ekosistem lahan gambut menyediakan habitat penting
yang unik bagi berbagai jenis satwa dan tumbuhan, beberapa diantaranya hanya
terbatas pada ekosistem gambut. Di Taman Nasional Berbak Jambi tercatat
sekitar 250 (dua ratus lima puluh) jenis burung termasuk 22 (dua puluh dua) jenis
burung bermigrasi.
Sungai berair hitam juga
memiliki tingkat endemisme ikan yang sangat tinggi. Di samping itu, lahan
gambut juga merupakan habitat ikan air tawar yang merupakan komoditas dengan
nilai ekonomi tinggi dan penting untuk dikembangkan, baik sebagai ikan
konsumsi maupun sebagai ikan ornamental. Beberapa jenis ikan yang memiliki
nilai ekonomi tinggi, termasuk gabus (chana striata), toman (channa
micropeltes), jelawat, dan tapah (wallago leeri).
Sementara itu, beberapa
jenis satwa telah termasuk dalam kategori langka dan terancam punah serta
memiliki nilai ekologis yang luar biasa dan tidak tergantikan, sehingga
sangat sulit untuk dikuantifikasi secara finansial. Beberapa jenis tersebut
diantaranya adalah harimau sumatera (panthera tigris), beruang madu
(helarctos malayanus), gajah sumatera (elephas maximus), dan orang utan
(pongo pymaeus). Seluruh jenis tersebut dilindungi berdasarkan peraturan
perlindungan di Indonesia serta masuk dalam appendix I CITES dan IUCN Red
List dalam katagori endanger species.
|
Habitat
tumbuhan
|
Tidak kurang dari 300 (tiga
ratus) jenis tumbuhan telah tercatat di hutan rawa gambut Sumatera. Di Taman
Nasional Berbak Jambi, misalnya kawasan ini merupakan pelabuhan bagi
keanekaragaman genetis dan ekologis dataran rendah pesisir di Sumatera.
Sejauh ini telah tercatat tidak kurang dari 260 (dua ratus enam puluh) jenis
tumbuhan (termasuk 150 jenis pohon dan 23 jenis palem), sejauh ini merupakan
jumlah jenis terbanyak yang pernah diketahui
|
Bentang
alam
|
Hutan rawa gambut menempati
kawasan yang khusus pada bentang alam dataran rendah, membentuk mosaik
ekologi yang tersusun dari tipe vegetasi khas pada hutan bakau, diantara
hamparan pantai tua, pinggiran sungai serta pertemuan dengan hutan rawa air
tawar
|
Alam liar
|
Hutan rawa gambut memiliki
nilai alam liar yang luar biasa, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk
perkotaan. Hal ini merupakan modal yang sangat berharga untuk pengembangan
pariwisata alam.
|
Sumber
hasil alam
|
Rawa gambut menyediakan
sumber alam yang luar biasa, termasuk berbagai jenis tumbuhan kayu yang
memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti ramin (gonystylus bancanus), jelutung
(dyera costulata) dan meranti (shorea spp).
Beberapa studi
sosial-ekonomi menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat sekitar terhadap
hutan rawa gambut dapat mencapai hingga 80% (delapan puluh per seratus) dan
ini lebih tinggi dari ketergantungan mereka terhadap usaha pertanian.
|
1.8 Faktor
edaphis ekosistem hutan rawa gambut
Tanah gambut
menepati cekungan diantara dua sungai besar. Bila cekungan tersebut sempit,
gambut yang terbentuk biasanya merupakan gambut dangkal dengan ketebalan 0,5
sampai 1 meter sedang dengan ketebalan 1-2 meter. Jika jarak horizontal kedua
tersebut cukup jauh hingga beberapa
kilometer, tanah biasanya membentuk kubah gambut (peat dome) yang cukup besar (gambar 7). Pada bentukan kubah gambut
seperti ini, semakin ke tengah kubah gambut, ketebalan gambut akan semakin
bertambah sampai mencapai belasan meter (wibisona, et al., 2005)
|
|
|
|
Gambar 7 :
penampang skematis hutan rawa gambut dikubah gambut (peat dome)(Elfis, 2011)
arsip 6A,2014
Menurut Wibisono, et al.,
(2005) dan Werland (2005) keterbatasan nutrient pada lahan gambut, terutama
pada bagian tengah kubah gambut, menjadikan hutan rawa gambut memiliki struktur
yang khas. Pada bagian tepi umumnya didominasi jenis-jenis tumbuhan yang tinggi
dengan diameter yang besar serupa dengan hutan dataran rendah lainnya berubah
menjadi pohon-pohon dengan diameter yang lebih kecil dipusat kubah.
KRITERIA PENILAIAN KESUBURAN TANAH MENURUT PUSAT
PENELITIAN TANAH
(Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1993)
Ciri-Ciri Tanah
|
Tingkatan
|
|||||||||
Sangat Rendah
|
Rendah
|
Sedang
|
Tinggi
|
Sangat Tinggi
|
||||||
C-organik (%)
|
< 1,00
|
1,00-2,00
|
2,01 - 3,00
|
3,01 – 5,00
|
> 5,00
|
|||||
N-total (%)
a.
Mineral
b.
Gambut
|
< 0,10
|
0,10-0,20
< 0,80
|
0,21 - 0,50
0,80 – 2,50
|
0,51 – 0,75
> 2,50
|
> 0,75
|
|||||
Rasio C/N
|
< 5
|
5 – 10
|
11 – 15
|
16 – 25
|
> 25
|
|||||
P2O5 Bray 1 (ppm)
|
< 10
|
10 –15
|
16 – 25
|
26 – 35
|
> 35
|
|||||
K (me/100 g)
|
< 0,10
|
0,10-0,20
|
0,30 – 0,50
|
0,60 – 1,00
|
> 1,00
|
|||||
Na (me/100 g)
|
< 0,10
|
0,10-0,30
|
0,40 – 0,70
|
0,80 – 1,00
|
> 1,00
|
|||||
Mg (me/100 g)
|
< 0,40
|
0,40-1,00
|
1,10 – 2,00
|
2,10 – 8,00
|
> 8,0
|
|||||
Ca (me/100 g)
|
< 2
|
2 – 5
|
6 – 10
|
11 – 20
|
> 20
|
|||||
KTK (me/100 g)
|
< 5
|
5 – 16
|
17 – 24
|
25 – 40
|
> 40
|
|||||
Kejenuhan
Basa (%)
|
< 20
|
20 –35
|
36 – 50
|
51 – 70
|
> 70
|
|||||
Kadar Abu (%)
|
|
< 5
|
5 – 10
|
> 10
|
|
|||||
|
Sangat Masam
|
Masam
|
Agak Masam
|
Netral
|
Agak Alkalis
|
Alkalis
|
||||
pH (H2O)
a. Mineral
|
< 4,5
|
4,5 – 5,5
|
5,6 – 6,5
|
6,6-7,5
|
7,6 -8,5
|
> 8,5
|
||||
|
Sangat masam
|
Sedang
|
Tinggi
|
|||||||
pH (H2O)
b. Gambut
|
< 4,0
|
4 – 5
|
> 5
|
|||||||
DATA
EDAPHIS UNTUK
EKOSISTEM
HUTAN RAWA GAMBUT
Kisaran
Nilai dan
Tingkat Penilaian Analisis
Agregat Kimia Tanah
Hutan
Rawa Gambut Di Kecamatan Sungai Mandau Kabupaten Siak
Sifat Kimia Tanah
|
Kedalaman Lapisan Contoh (cm)
|
|||
0 – 30
|
30 – 60
|
|||
Nilai
|
Peringkat
|
Nilai
|
Peringkat
|
|
pH
(H2O) Gambut
|
3,2 – 4,2
|
SM
|
3,0 – 4,1
|
SM
|
C-organik
(%)
|
22,26–45,31
|
ST
|
19,28 – 45,56
|
ST
|
N-total
(%)
|
0,68 – 1,35
|
SR - S
|
0,38 – 0,93
|
SR – S
|
P2O5
Bray 1 (ppm)
|
13,5 – 13,6
|
R
|
13,0 – 16,5
|
R
|
Ca
(me/100 g)
|
2,01 – 7,21
|
R – S
|
1,37 – 2,69
|
SR – R
|
Mg
(me/100 g)
|
1,12 – 1,55
|
S
|
0,91 – 1,41
|
R – S
|
K
(me/100 g)
|
0,30 – 1,44
|
S – ST
|
0,44 – 0,72
|
S – T
|
Na
(me/100 g)
|
0,98 – 2,62
|
T – ST
|
0,98 – 1,73
|
T – ST
|
Total
Basa (me/100g)
|
7,19 – 10,04
|
|
5,02 – 5,23
|
|
KTK
(me/100 g)
|
68,5 – 151,6
|
ST
|
67,5 – 177,8
|
ST
|
Kejenuhan
Basa (%)
|
4,7 – 14,7
|
SR
|
2,9 – 7,4
|
SR
|
Kadar
Abu (%)
|
22,06 – 61,71
|
ST
|
21,64 – 66,83
|
ST
|
Kadar
Air Lapang (%)
|
181,6-524,6
|
|
183,4 – 453,3
|
|
Kadar
Air Tanah (%)
|
127,6-336,9
|
|
89,2 – 302,2
|
|
Keterangan :
SM = Sangat masam T = Tinggi R = Rendah
ST
= Sangat tinggi S =
Sedang SR =
Sangat rendah
|
Catatan : Diolah dari data analisis
agregat tanah oleh Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Universitas Riau
1.8.1 Tanah ekosistem hutan rawa gambut
Gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah
lapuk, terdiri dari bahan organik yang sebagian besar belum terdekomposisi atau
sedikit terdekomposisi serta terakumulasi pada keadaan kelembaban yang
berlebihan. Berdasarkan kandungan bahan organik, dikenal dua golongan tanah
yaitu tanah mineral yang mengandung bahan organik berkisar antara 15 % sampai
dengan 20 % dan tanah organik yang mengandung bahan organik berkisar
antara 20 % sampai dengan 25 % bahkan
kadang-kadang sampai 90 % mengandung bahan organik (Buckman dan
Brady, 1982).
Asian Wetland Beraue dan Ditjen PHPA (1993) dalam Koesmawadi
(1996) mengemukakan bahwa hutan rawa gambut merupakan statu ekosistem yang unik
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
(a) selalu tergenang air
(b) komposisi jenis pon beraneka ragam, mulai dari tegakan
sejenis seperti jenis Calophyllum
inophyllum Mix. Sampai tegakan campuran,
(c) terdapat lapisan gambut pada lantai hutan,
(d) mempunyai perakaran yang khas, dan
(e) dapat tumbuh pada tanah yang bersifat
masam.
Tanah gambut, merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik
dengan ketebalan bahan organik lebih dari 45 cm ataupun terdapat secara
berlapis bersama tanah mineral pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai
tebal lapisan bahan organik lebih dari 50 cm (Suhardjo, 1983). Tanah gambut
tersebut pada umumnya mengandung lebih dari 60 % bahan organik (Driessen,
1977). Tanah gambut atau tanah organik dimaksud dikenal juga sebagai tanah
organosol atau histosol (Suhardjo, 1983).
Menurut sistem kalsifikasi taksonomi tanah (USDA, 1975) tanah gambut
termasuk kedalam ordo histosol, yaitu tanah dengan kandungan bahan organik
lebih dari 20 % tekstur pasir atau lebih dari 30 % tekstur liat. Lapisan yang
mengandung bahan organik tinggi tersebut tebalnya lebih dari 40 cm. Menurut
sistem klasifikasi tersebut, ordo histosol berdasarkan bahan asal dan tingkat
perombakannya dibedakan menjadi empat sub-ordo, yaitu folist, fibrist, hemist
dan saprist. Sub-ordo tersebut berdasarkan kandungan atau ketebalan bahan
penciri dan temperaturnya dibedakan menjadi beberapa kelompok besar. Untuk
daerah tropika nama-nama kelompok besar antara lain : tropofolist,
tropofibrist, tropohemist dan troposaprist. Kelompok besar ini secara umum
mempunyai perbedaan temperatur rata-rata musim panas dan dingin kurang dari 50
C.
Gambar 8 : Tanah Hutan Rawa Gambut (Sumber:
Arsip Biologi 6A, 2014)
Tanpa memandang tingkat dekomposisinya, gambut dikelaskan sesuai dengan
bahan induknya menjadi tiga (Buckman dan Brady, 1982) yaitu :
(1) Gambut endapan;
Gambut endapan biasanya tertimbun di dalam air yang relatif dalam. Karena itu umumnya terdapat jelas
di profil bagian bawah. Meskipun demikian, kadang-kadang tercampur dengan tipe
gambut lainnya jika lebih dekat dengan permukaan. Gambut ini berciri kompak dan
kenyal serta bewarna hijau tua jika masih dalam keadaan aslinya. Kalau kering
gambut ini menyerap air sangat lambat dan bertahan tetap dalam keadaan sangat
keras dan bergumpal. Gambut ini tidak dikehendaki, karena sifat fisiknya yang
tidak cocok untuk pertumbuhan tanaman.
(2) Gambut berserat; Gambut ini mempunyai kemampuan mengikat air
tinggi dan dapat menunjukan berbagai derajat dekomposisi. Gambut berserat
mungkin terdapat dipermukaan timbunan bahan organik yang belum terdekomposisi,
sebagian atau seluruhnya terdapat dalam profil bawah, biasanya terlihat di atas
endapan.
(3) Gambut kayuan;
Gambut kayuan biasanya terdapat dipermukaan timbunan organik. Gambut ini bewarna coklat atau hitam
jika basah, sesuai dengan sifat humifikasinya. Kemampuan mengikat air rendah,
oleh karena itu gambut kayuan kurang sesuai digunakan untuk persemaian.
Gambar 9 : Kayu yang mengalami pelapukan/gambut kayuan (Sumber: Arsip
Biologi 6A, 2014)
Menurut Darmawijaya (180) berdasarkan faktor pembentukannya, gambut digolongkan
menjadi tiga bagian, yaitu :
(1)
Gambut ombrogen; Gambut ombrogen terbentuk karena
pengaruh curah hujan yang
tinggi, dengan air yang tergenang, tanpa perbedaan musim yang mencolok dan pada
daerah tropika yang lebat dengan curah hujan lebih dari 3000 mm tiap tahun.
Bersifat sangat masam dengan pH 3,0 – 4,5.
(2) Gambut topogen; Gambut topogen terbentuk karena
pengaruh topografi, berasal dari tanaman paku-pakuan dan semak belukar
dan mempunyai pH yang relatif tinggi.
(3) Gambut pegunungan; Gambut ini terbentuk
karena ketinggian tempat gambut, di daerah katulistiwa hanya terbentuk
di daerah pegunungan dan iklimnya menyerupai iklim di daerh sedang dengan
vegetasi utamanya Sphagnum.
Bahan organik pada tanah gambut dibedakan atas tiga macam (Rosmarkam et al., 1988) yaitu :
(1)
Fibric yang tingkat dekomposisinya masih rendah,
sehingga masih banyak mengandung serabut, berat jenis sangat rendah (kurang
dari 0,1), kadar air banyak, berwarna kuning sampai pucat.
(2)
Hemic merupakan peralihan dengan tingkat dekomposisi
sedang, masih banyak mengandung serabut, berat jenis antara 0,07 – 0,18, kadar
air banyak, berwarna coklat muda sampai coklat tua.
(3)
Sapric yang dekomposisinya paling lanjut, kurang
mengandung serabut, berat
jenis 0,2 atau lebih, kadar air tidak terlalu banyak dengan warna hitam dan
coklat kelam.
Tanah gambut di Indonesia
sangat bervariasi tingkat kesuburannya. Gambut pantai umumnya merupakan gambut
topogenous atau mesogenous, sebagian besar tergolong kedalam eutropik atau
mesogenous, karena memperoleh tambahan unsur lain dari luar yaitu yang dibawa
air pasang. Sedangkan gambut pedalaman pada umumnya merupakan gambut
ombrogenous atau mesogenous yang termasuk kedalam oligotropik (Polak, 1975).
Kualitas tanah gambut sangat tergantung pada vegetasi yang menghasilkan
bahan organik pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang berada di dawahnya,
faktor lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan
tanahnya. Vegetasi bahan pembentuk tanah gambut dipengaruhi oleh keadaan iklim,
kualitas dan tata air tempat pembentukannya. Di daerah dataran tinggi dengan
suhu yang dingin bahan organik yang terbentuk lebih halus dan mudah melapuk
daripada di dataran rendah atau pantai. Vegetasi rawa atau air semula
berupa rumput-rumputan yang membentuk bahan organik lebih dahulu di
lapisan bawah, untuk kemudian ditimbun oleh bahan vegetasi yang lebih besar di
atasnya. Oleh karena itu, tanah gambut mempunyai lapisan-lapisan dengan
perbedaan kualitas karena vegetasi yang memberikan bahan organik berbeda
(Suhardjo, 1983).
Selanjutnya Suhardjo (983) menyatakan bahwa sifat-sifat fisik tanah
gambut ditentukan oleh tingkat dekomposisi atau kematangan bahan organik
pembentuk gambut. Tingkat kematangan gambut ini dicirikan oleh kandungan
serat bahan organik tersebut. Yang dimaksud serat adalah potongan atau kepingan
jaringan tumbuhan yang tertahan oleh jaring dengan ukuran mesh 100, tidak
termasuk akar hidup dan struktur jaringannya masih dapat dikenali. Fibric
adalah tingkat gambut yang dekomposisinya rendah, duapertiga volumenya terisi
serat. Tingkat kematangan hemic sedang dengan kandungan seratnya sepertiga
sampai duapertiga volumenya. Sapric adalah bahan organik yang paling lapuk,
kurang dari sepertiga volumenya masih berupa serat.
Jumlah, bentuk dan ukuran serat menentukan jumlah dan sebaran ukuran
pori. Ruang pori total (RPT) ditentukan oleh bobot, isi dan bobot jenis
rata-rata (average specifik density) gambut, sedang sebaran
ukuran pori dipengaruhi oleh
sebaran fraksi/serat dan struktur. Jumlah dan sebaran ukuran pori menentukan
sifat-sifat retensi air, daya simpan air dan daya hantar hidrolik (Adhi, 1984).
Susunan kimia dan kesuburan tanah gambut
ditentukan oleh ketebalan lapisan gambut dan tingkat kematangan
lapisan-lapisannya, keadaan tanah mineral di bawah lapisan gambut serta
kualitas air sungai atau air pasang yang mempengaruhi lahan gambut dalam proses
pembentukan dan pematangannya (Adhi, 1986). Sifat kimia tanah gambut dicirikan
dengan nilai pH dan ketersediaan unsur nitrogen, fosfor dan kalium rendah,
kejenuhan kalsium dan magnesium yang rendah, diikuti dengan pertukaran Al, Fe
yang cukup tinggi sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Hakim, 1986).
Gambut yang dipengaruhi air sungai, payau atau air laut lebih kaya unsur hara
dibandingkan dengan gambut yang hanya tergantung air hujan saja. Kualitas air
mempengaruhi kesuburan gambut yang terbentuk. Sedangkan tingkat kesuburan tanah
gambut ditentukan oleh kandungan N, K2O, P2O5,
CaO dan kadar abu. Semakin tinggi nilai-nilai tersebut semakin tinggi
kesuburannya (Fleischer dalam
Supraptohardjo, 1974).
Menurut Hakim (1986) berdasarkan
nilai-nilai tersebut menggolongkan kesuburan tanah gambut menjadi tiga yaitu :
(1) Gambut
eutropik yang subur
(2) Gambut
mesotropik dengan kesuburan sedang
(3) Gambut
oligotropik dengan kesuburan rendah
Lokasi HPH PT. Yos Raya Timber didominasi
oleh gambut ombrogen oligotropik, yaitu gambut yang miskin dengan sumber
penggenangan air hujan. Pada gambut ombrogen semakin ke arah tengah lahan
gambut terjadi penurunan tingkat kandungan hara. Kecendrungan semakin menurunya
kesuburan tanah dicirikan oleh menurunya tinggi tajuk vegetasi hutan, menurunya
bahan kering per satuan luas, menebalnya daun serta menurunnya rata-rata
diameter pohon. Ketidakmampuan pohon-pohon tumbuh optimal dibagian tengah
gambut karena keadaannya yang sangat ekstrim, khusunya pH dan ketersediaan
unsur hara bagi tanaman (Anwar et al.,
1984). Sebagai akibat dari keadaan di atas, formasi hutan gambut ombrogen
sering memiliki variasi lokal sebagai phasic
communities (Anderson, 1961).
Menurut Rose dalam (Mile, 1997), hutan-hutan tropika basah
yang tergolong ke dalam hutan tropika basah dataran rendah (lowland tropical rain forest) dan tinggi (higland tropical
rain forest) sebagian besar tumbuh pada tanah yang tergolong marginal. Menurut
Prichet (1979), hutan alam tersebut dapat tumbuh dengan baik dan lestari pada
tanah yang berpelapukan lanjut karena memiliki sistem perputaran hara tertutup
(closed system nutrients cycling)
yang terjaga dengan baik. Jordan (1985) menyatakan, bahwa hal ini dimungkinkan
karena kondisi hutan alam yang multi strata baik tajuk maupun sistem perakaran
serta kondisi iklim (terutama curah hujan dan temperatur) yang dapat mendukung
terjadinya pengembalian hara yang cepat serta pemanfaatannya secara efesien.
Selanjutnya Prichet (1979) menyatakan bahwa
kemampuan hutan tropika basah Indonesia bukan disebabkan oleh kesuburan
tanahnya, melainkan semata disebabkan oleh adanya siklus hara yang ketat dan
tertutup yang mampu menyumbat peluang kebocoran unsur hara. Perjalanan suksesi hutan menuju klimaks, pada
hakekatnya merupakan proses pembangunan ekosistem. Pada saat suksesi mencapai
klimaks, ekosistem yang dibentuknya berada dalam keadaan kondisi yang paling
baik. Tanaman yang berkembang pada kondisi ini didukung oleh lingkungan tumbuh
yang paling optimal. Dehutanisasi yang diikuti oleh konversi hutan menjadi
berbagai macam fungsi, betapun mulianya tujuan program ini, secara ekologi pada
hakekatnya memundurkan perjalanan suksesi dari kondisi klimaksnya. Merubah
watak siklus hara yang ketat dan tertutup menjadi longgar dan terbuka akan
memberikan peluang lebar terhadap proses kebocoran hara mineral.
Jordan (1985) menyatakan bahwa, hasil fotosintesa hutan tropis lebih
banyak di simpan di daun, sedangkan tanaman hutan temperate lebih banyak disimpan
di kayu. Dengan demikian, walaupun produk bersih tanaman (net primary productivity) hutan tropis lebih besar, namun lebih
disebabkan oleh banyaknya produksi daun. Banyaknya produksi daun menyebabkan
sebagian besar unsur hara yang ada di dalam hutan tropika basah tersimpan pada
biomas tanaman dan bukan pada tanah hutan sebagaimana pada hutan temperate, dimana sebagian besar unsur
haranya tersimpan di tanah dan lantai hutan. Hal ini dikarenakan adanya proses
pembentukan unsur hara yang terjadi secara berkala melalui proses pengguruan
daun. Oleh karena itu dehutanisasi hutan tropika basah berakibat kemerosotan
hara tanah secara drastis dibandingkan dengan proses dehutanisasi daerah temperate (nontropis).
Tidak adanya pasokan hara
dari air tanah dan sungai menjadikan vegetasi yang tumbuh digambut ombrogen
akan tumbuh dalam siklus hara yang terbatas.
Adanya kehilangan hara akibat proses pencucuian atau terbawa keluarv
oleh air gambut menjadikan gambut ombrogen semakin miskin unsur hara. Dengan
kondisis tersebut kubah gambut ombrogen memiliki vegetasi dengan tipe yang khas
yang berbeda antara bagian tepi kubah dengan bagian pusat kubah. Pada bagian
tepi kubah yang relatif dangkal, perakaran tumbuhan masih dapat mencapai tanah
mineral atau gambut topogen. Pada bagian tersebut akan berkembang mixed forest dengan pohon-pohon yang
besar dan tumbuhan bawah yang lebat. Semakin ketengah kubah gambut terdapat deep peat forest yang memiliki tumbuhan
dengan ukuran lebih kecil dan memiliki keragaman jenis yang lebih kecil
dibandingkan vegetasi dibagian tepi. Pada bagian tengah kubah gambut,
berkembang vegetasi padang forest
yang terdiri pohon-pohon kayu kecil dan
jarang, pandan dan semak-semak . Perubahan dari mixed forest menjadi deep
feat forest terdapat pada kedalaman gambut sekitar 3 meter (Adhi, 1986)
Telah dibuktikan bahwa
semakin kepusat menuju ke puncak kubah gambut terdapat penurunan jumlah hara
mineral (Whitmore, 1990). Kondisi hara mineral secara alamiah memang miskin di
gambut ombrogen mempengaruhi produktivitas primer. Meskipun studi tentang hal
ini masih harus dilakukan,tetapi jumlah bidang dasar di hutan rawa gambut
menunjukkan bahwa produktivitas primer hutan gambut, khususnya di daerah
sekitar puncak kubah gambut, Sangat rendah. Whitten et al., (1988) menyimpulkan
bahwa dihabitat miskin seperti ini,masih tetap memungkinkan tetap terjadinya
pertumbuhan. Alasan utama adalah :
1)
Di habitat dengan produktivitas rendah, tumbuhan harus
memproduksi daun yang lebih baik perlindunganya untuk meningkatkan daya hidup
daun itu sendiri. Daun memiliki batas hidup, biasanya terkait dengan jumlah
kerusakan yang mampu ditolelir, sehingga akan lebih menguntungkan bagi tumbuhan
bila dapat menjamin kerusakan selambat mungkin. Kemungkinan jaringan kutikula
yang relatif tebal pada jenis yang tumbuh di hutan rawa gambut berfungsi untuk
mengurangi pencucian hara dari daun hidup
2)
Di habitat dengan produktivitas rendah dan ditumbuhi
vegetasi dimana produksi biji harus disertai dengan mekanisme anti predator,
misalnya : kandungan zat racun yang tinggi pada buah atau pembuahan secara
besar-besaran, biasanya terdapat sedikit jenis tumbuhan dan terdapat
pengelompokan jenis secara nyata.
Daun-daun yang tumbuh dihutan rawa gambut
umumnya mengandung resin, aroma yang menusuk. Hal ini merupakan ciri tumbuhan
yang tumbuh di habitat miskin hara terutama bila suplei nitrogen dan phospor
sangat terbatas. Daun yang tebal mungkin tidak hanya berfungsi untuk
mempertahankan diri terhadap kondisi habitat, tetapi juga merupakan alat
pertahanan terhadap herbivora (Whitten,et al., 1988). Jarangnya epifit yang tumbuh ditajuk pohon di
hutan rawa gambut diinterprestasikan oleh Janzen (1974) sebagai konsekuensi dari rendahnya kotoran
burung, serangga, dan daun atau ranting yang jatuh.
Meskipun beberapa organisme mikro mampu
memecahkan senyawa fenol, tetapi kerjanya sangat lambat dan membutuhkan
organisme yang cukup akibatnya serasah di hutan rawa gambut tidak disentuh oleh
perombak selama beberapa minggu, hingga kandungan senyawa fenol tercuci air
hujan. Tingginya kandungan senyawa fenol di hutan rawa gambut mempunyai
pengaruh negatif terhadap akitivitas organisme mikro, baik mirorhiza maupun
jamur mikro lainya dan bakteri. Pengaruh negatif ini akan meningkat di hutan
rawa gambut yang ditebang. Hal ini disebabkan oleh (Whitten et al., 1988):
1)
Kualitas hara yang rendah dari tanah hutan rawa
menyebabkan mikro lebih tergantung pada serasah untuk memperoleh hara.
2)
Kemasaman tanah yang tinggi
3)
Laju produksi serasah rendah akibat produktivitas
primer rendah
4)
Kualitas hara yang terkandung di serasah rendah karena
proses seleksi selama proses penarikan
kembali hara yang masih bisa
dimanfaatkan sebelum daun gugur.
Dalam ekosistem hutan rawa gambut, hara memasuki sistem melalui aliran
hidrologi yang berkaitan erat dengan
curah hujan atau aliran permukaan dan lairan tanah (Lugo, 1982). Namun studi
tentang siklus hara di indo malaya, sangat jarang ditemukan. Satu studi tentang
dinamika bahan organik di sumatra telah dilakukan oleh Brady (1991) yang
menyatakan bahwa salah satu sumber hara yang penting dalam ekosistem hutan rawa gambut, khususnya
gambut ombrogen, adalah air hujan. Dengan demikian, jumlah pasokan hara sangat
tergantung dari kualitas air hujan tersebut.
Selain dari curah hujan sumber hara dihutan rawa gambut ombrogen adalah
dari bahan organik (gambut) dan dari jaringan tumbuhan hidup (Whitten et al.,
1988). Gudang hara (sink) dalam ekosistem rawa gambut pada umumnya adalah air,
tanah (organik) dan biomas tumbuhan (Lugo, 1982)
Komponen-komponen ekosistem yang memiliki kapasitas menyimpan fosfor
adalah : tanah, kayu diatas tanah, kayu didalam tanah, daun, lapisan serasah,
dan air permukaan. Urutan komponen-komponen tersebut untuk menyimpan bahan
organik umumnya sama dengan urutannya untuk menyimpan hara mineral. Beberapa
unsur biomasa hidup, seperti daun, bunga dam buah menyimpan hara dalam
kosentrasi yang besar, sedangkan kayu, tanah dan air menyimpan hara yang lebih
lemah. Namun dalam level ekosistem., besarnya jumlah hara yang tersimpan dalam
masing-masing unsur biomas tersebut sangat dipengaruhi oleh ukuran unsur biomas
tersebut. Unsur biomas yang besar mengandung kosentrasi hara yang kecil,
mungkin menyimpan hara yang lebih banyak jumlahnya.
Aliran hara diantara unsur-unsur ekosistem tergantung pada ketersediaan
dan pengembalian hara. Suatu hara mineral mungkin tersimpan dalam jumlah besar
di satu unsur ekosistem, tetapi tidak dapat dimanfaatkan oleh unsur-unsur
ekosistem lainnya, sehingga pergerakan atau aliran hara tersebut terhambat.
Untuk bisa dimanfaatkan oleh unsur ekosistem lain, hara tersebut harus dirombak
secara kimiawi oleh organisme.
Laju pengembalian hara dari unsur-unsur ekosistem hutan rawa gambut
bervariasi menurut jenis mineral. Laju pengembalian hara yang membatasi
prduktivitas tumbuhan, seperti nitrogen dan fosfor sangat cepat sedangkan
hara-hara yang kurang kritis pengembaliannya lebih lambat (Golley, 1977).
Pada umumnya gambut tropika termasuk yang ada di Sumatera dan Kalimantan
secara terus menerus basah dengan muka air tanah di atas atau di dekat
permukaan gambut. Pohon-pohon yang ada di wilayah gambut yang masih berhutan,
masih berfungsi mempertahankan keseimbangan tingginya permukaan air tanah
melalui proses evapotranspirasi yang lambat dan seimbang. Disamping itu faktor lingkungan seperti efek penyanggah gambut yang porous,
permeabilitas lateral gambut fibrik dibagian tengah kubah, aliran permukaan
intensif melalui parit-parit kecil melalui aliran penghubung yang memungkinkan
adanya pelepasan air secara melimpah di bagian tepi kubah, yang segera diikuti
bagian dalam kubah (karena porous) dari waktu ke waktu yang biasanya dapat
diamati sewaktu hari hujan (Wahyunto et al., 2005).
Lahan gambut memegang peranan yang penting dalam sistem hidrologi suatu lahan rawa. Salah satu sifat gambut
yang berperan dalam sistem hodrologi adalah daya menahan air yang dimilikinya.
Gambut memiliki daya menahan air yang besar hingga 300-800% dari bobotnya.
Selain daya menahan air, gambut juga memiliki daya lepas air yaitu jumlah air
yang dilepaskan jika permukaan air diturunkan per satuan kedalaman yang juga
besar. Dalam kaitan ini, keberadaan lahan gambut yang sangat dalam ( lebih dari
4 meter) sangat berperan pada konservasi air ( Wetland, 2005; Wahyunto et al.,
2005).
1.9 Sistem Kanalisasi
Kanalisasi adalah sistem drainase untuk
menyalurkan air
hujan, limbah manusia, dan air limbah industri rumah
tangga, baik dengan pola pengurasan tanpa membedakan jenis air yang disalurkan, atau
dengan pola ganda yang memisahkan jenis-jenis air, atau dengan sistem selokan
terbuka, dan dengan menyediakan sumur penampung atau sumur kontrol.
Gambar : kanal pada rawa gambut (sumber : arsip 6A,2014)
Kanal-kanalpun digali dengan maksud memberikan akses pada air tawar yang
terdapat pada sungai-sungai besar untuk mencuci gambut agar kandungan
racun-racunnya berkurang. Namun yang terjadi sebaliknya, air yang terkandung
dalam gambut justru mengalir ke sungai-sungai utama melalui kanal-kanal
tersebut sehingga pada musim kemarau gambut menjadi kering. Kini sejuta hektar
lahan gambut siap menjadi salah satu penyumbang emisi karbon terbesar. Kanalisasi, inilah penyebab utama mudah
terbakarnya lahan gambut. Pada musim kemarau dimana suplai air minim, deposit
air yang ada di gambut akan mengalir ke kanal-kanal karena posisinya yang lebih
rendah. Sekarang lahan gambut telah kering, yang kita butuhkan hanyalah sumber
api untuk menjadikan lahan gambut sebagai sumber emisi. Akibat
kanalisasi maka ekosistem gambut akan kehilangan air, sehingga tanah turun
kebawah akibatnya tidak ada penyangga.
BAB II
KOMPONEN-KOMPONEN EKOSISTEM
HUTAN RAWA GAMBUT
2.1 Komponen Abiotik Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Abiotik adalah bukan makhluk hidup atau
komponen tak hidup. Kompnen abiotik merupakan komponen fisik dan kimia yang
membentuk lingkungan abiotik . lingkungan abiotik membentuk ciri fisik dan
kimia temepat hidup makhluk hidup contoh kompnen abiotik antara lain suhu,
cahaya, air, kelembapan, udara, garam-garam mineral dan tanah. Komponen ini
tidak berdiri sendiri, tetapi saling berinteraksi sehingga mempengaruhi sifat
yang satu dengan sifat yang lain (Aryulina, 2007).
Untuk komponen abiotik terdiri atas:
1) Lapisan Humus, adalah lapiasan teratas
dari tanah. Merupakan lapisan tanah yang
memiliki tingkat kesuburan yang tinggi.
2) Serasah adalah
tumpukan dedaunan kering, rerantingan, dan berbagai sisa vegetasi
lainnya di atas lantai hutan atau kebun. Serasah yang telah membusuk (mengalami dekomposisi)
berubah menjadi humus
(bunga tanah), dan akhirnya menjadi tanah. Lapisan serasah juga merupakan dunia kecil di atas tanah,
yang menyediakan tempat hidup bagi berbagai makhluk
terutama para dekomposer. Berbagai jenis
kumbang
tanah, lipan,
kaki seribu,
cacing tanah,
kapang
dan jamur
serta bakteri
bekerja keras menguraikan bahan-bahan organik yang menumpuk,
sehingga menjadi unsur-unsur
yang dapat dimanfaatkan kembali oleh makhluk hidup lainnya.
Gambar 10 :
serasah pada hutan rawa gambut (sumber : arsip 6A, 2014)
3) Suhu, Menurut Kartasapoetra, (1987)
Suhu dikatakan sebagai derajat panas atau dingin yang dapat diukur berdasarkan
skala tertentu dengan manggunakan berbagai thermometer. Faktor-faktor yang
mempengaruhi suhu dimuka bumi dapat dikemukakan sebagai berikut:
a)
Jumlah radiasi yang diterima pertahun-perhari-permusim.
b)
Pengaruh daratan atau lautan
c)
Pengaruh ketinggian tempat
d)
Pengaruh angin secara tak langsung, misalnya angin yang
membawa panas dari sumbernya secara horizontal
e)
Pengaruh panas laten, panas yang disimpan dalam atmosfer
f)
Penutup tanah, tanah yang ditutup vegetasi mempunyai
temperatur < dari pada tanah tanpa vegetasi
g)
Pengaruh sudut dating
sinar matahari, sinar yang vertikal akan membuat suhu > dari pada
yang datangnya miring,
h)
Tipe tanah, tanah-tanah indeks suhunya lebih tinggi.
4)
Kelambapan adalah banyaknya kadar uap air yang ada di
udara, dalam hal ini kita mengenal beberapa istilah, anatara lain:
a)
Kelembapan mutlak adalah massa uap air yang berada
dalam satusatuan udara yang dinyatakan dalam gr/ m3
b)
Kelembapan spesifik, merupakan perbandingan uap air di
udara dengan satuan massa udara yang dinyatakan dalam gr/ kg
c)
Kelambapan relative, merupakan perbandingan jumlah uap
air diudara dengan jumlah maksimum uap air yang dikandung secara tertentu yang
dinyatakan dalam persen (%). Angka kelembapan
relatif: 0 – 100%, 0% berarti udara kering, 100% artinya udara jenuh
dengan uap air yang artinya akan terjadi titik air hujan (Kartasapoetra, 2000).
5)
Asal kata “air” tidak diketahui secara jelas, sehingga
banyak pengertian dari air yang dikemukan oleh para ahli, diantaranya yaitu
Menurut Jumin (1987) Air merupakan bahan yang sangat vital bagi kehidupan tanaman.
Kekurangan air mengakibatkan terganggunya perkembangan morfologi dan proses
fisiologis tanaman. Masalah kekurangan air timbul akibatnya siklus hidrologi di
alam tidak merata. Sebagai tindak lanjutnya lahir pemikiran untuk memenuhi
kekurangan air yang sering terjadi. Salah –satu ilmu yang mengkaji dan membahas
tentang maslah air bagi pertanian adalah ilmu irigasi. Sedangkan menurut
Dwidjoseputro (1986) air adalah bahan yang paling banyak didalam sel-sel yang
hidup dan air merupakan suatu pelarut yang baik, maka air yang ada dalam
sel-sel itu tidak pernah berupa air murni melainkan selalu mengandung zat-zat
yang larut, air juga mengandung partikel-partikel bebas yang tidak mungking
larut didalamnya.
6)
Cahaya itu terdiri atas partikel-partikel kecil yang
disebut foton dan foton ini mempunyai sifat-sifat materi dan gelombang. Foton
juga memiliki energi yang dinyatakan dengan kuantum. Berapa banyak energi yang
dimiliki oleh cahaya itu tergantung kepada panjang-pendeknya gelombang. Sinar ungu yang lebih pendek gelombangnya
dari pada sinar merah, mempunyai kuantum lebih banyak daripada sinar merah (Dwidjoseputro,
1986).
7)
Iklim adalah kondisi cuaca dalam jangka waktu lama
dalam suatu area. Iklim makro meliputi iklim global, regional, dan local.
Sedangkan iklm mikro meliputi iklim dalam suatu daerah yang dihuni komunitas
tertentu (Sumber: http//id.wikipedia.org/wiki/ekosistem).
A.
Komponen autotrof
Terdiri dari organisme yang
dapat membuat makanannya sendiri dari bahan anorganik dengan bantuan energi
seperti sinar matahari (fotoautotrof) dan bahan kimia (khemo-autotrof).
Komponen autotrof berperan sebagai produsen. Organisme autotrof adalah tumbuhan
berklorofil, seperti tanaman yang tumbuh pada lahan gambut.
B.
Komponen heterotrof
Terdiri dari organisme yang
memanfaatkan bahan-bahan organik yang disediakan oleh organisme lain sebagai
makanannya. Komponen heterotrof disebut juga konsumen makro (fagotrof) karena
makanan yang dimakan berukuran lebih kecil. Yang tergolong heterotrof adalah
manusia, hewan, jamur, dan mikroba.
Berikut
beberapa karakteristik lingkungan abiotik Kawasan hutan Rawa gambut:
Ø Kapasitas Menahan Air
à
Menurut Suhardjo dan Dreissen
Lahan gambut mampu menyerap air hingga 850% dari berat keringnya. Oleh se bab
itu, gambut memiliki kemampuan sebagai penghambat air saat musim hujan dan
melepaskan air saat musim kemarau. Besarnya kapasitas penahan air lahan gambut
menyebabkan penggundulan hutan gambut membuat lingkungan sekitar rawan banjir
dan rembesan air laut kedalam tanah.
Ø Kering Tak Balik (Hydrophobia
Irreversible) àSifat lahan gambut yang kering tak balik maksudnya
ketika terjadi alih fungsi lahan gambut dan diganti dengan sistem irigasi dan
drainase berupa parit menyebabkan lahan gambut kering dan sulit memunculkan
fungsinya kembali sekalipun lahan ini dijadikan hutan lagi. Hal ini disebabkan
proses terbentuknya lahan gambut yang rumit dan dalam jangka waktu yang
panjang.
Ø Daya hantar Hidrolik à
Gambut memiliki daya hantara
hidrolik (atau daya penyaluran air) secara horizontal cepat. Dalam artian
gambut dapat menghantar unsur hara dengan mudah secara horizontal sedangkan
daya penyaluran air vertical yang lambat berarti gambut lapisan luar (atas)
cenderung kering meskipun bagian bawah hutan rawa gambut sangat basah
Ø Daya tumpu à
Pori tanah yang besar dan kerapatan
rendah menyebabkan Tanah Gambut memiliki daya tumpu yang lemah. Dengan kata
lain tanaman yang tumbuh di hutan ini cenderung murah roboh. Apalagi hutan ini
disominasi tumbuhan yang berakar serabut guna mengatur kadar air yang masuk
didaerah basah seperti ini.
Ø Mudah Terbakar à
Sifat lahan gambut yang kaya
nutrient dan relative kering dipermukaan menyebabkan lahan gambut mudah
terbakar. Biasanya kebakaran gambut ini sulit dipadamkan karena cepat menjalar
ke lapisan dalam gambut.
Ø Kesuburan Gambut à
Kesuburan gambut dibagi menjadi tiga
tingkatan : Eutropik (subur), Mesotropik
(sedang) dan Oligotopik
(tidak subur). Biasanya lahan
yang hanya mengandalkan air hujan sebagai sumber air cenderung lebih tidak
subur. Sedangkan lahan yang ikut mengandalkan sumber air sungai relative lebih
subur dari yang lainnya.
Ø Pengikat karbon yang baik àFungsi sebagai pengikat karbon hutan rawa
gambut sangat membantu keseimbangan iklim global mengingat emisi karbon diudara
dituduh sebagai penyebab utama pemanasan global yang terjadi belakangan.
2.2
Komponen Biotik Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Sebagian besar
anggota famili tumbuhan yang terdapat di hutan hujan dataran rendah juga
terdapat di hutan rawa gambut, kecuali Combretacea Lythraceae, Protaceae dan
Styracaceae. Beberapa jenis yang mencirikan hutan rawa gambut antara lain (Howe
et al., 1991; Soerianegara dan
indrawan, 1984) : Ramin (Gonystilus bancanus
Kurzt. Miq.) Suntai (Palaqium burkii
H.J.L), Meranti rawa (Shorea parvifolia
Dyer.) dan Punak (Tetrameristra glabra
Miq.). Dibandingkan dengan tipe hutan lainnya, hutan rawa gambut termasuk
miskin akan jenis, meskipun relatif miskin akan jenis, tetapi hutan rawa gambut
memiliki kerapatan pohon yang tinggi (Anderson, 1976; 1983).
Penelitian
Laumonier et al., (1984; 1991) dan
haryanto (1989;1993) di Pulau Padang Riau menunjukkan bahwa famili yang umum
ditemukan pada hutan rawa gambut adalah Guttiferae/Clusiaceae (2 genus, 6
jenis), sedangkan penelitian Laumonier et
al., (1984; 1991) di Suaka Margasatwa Danau Besar dan Danau Bawah Riau
menunjukkan bahwa famili yang paling umum ditemukan adalah : myrtaceae (2
genus, 6 jenis). Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa anggota famili
Guttiferae dan Myrtaceae memiliki kemampuan adaptasi terhadap kondisi hutan
rawa gambut yang miskin hara, sering tergenang air yang bersifat sangat masam
dan memiliki senyawa fenol tinggi.
Salah satu bentuk adaptasi
tumbuhan yang mudah dilihat di hutan rawa gambut adalah terdapatnyaakar nafas
(pneumatophore) pada berbagai jenis tumbuhan. Akar nafas merupakan bentuk
adaptasi tumbuhan yang umum dijumpai di habitat yang sering digenangi air,
misalnya hutan mangrove, hutan rawa dan hutan rawa gambut (Whitmore 1990).
Menurut Istomo (2004) Beberapa jenis
tanaman khas rawa gambut adalah:
1)
Tumih (Combretocarpus ratundus)
2)
Mahang (Macaranga spp.)
3)
Pulai (Alstonia pneumatophora)
4)
Milas (Parastemon urophyllum)
5)
Balam-suntai (Palaquium spp.)
6)
Terentang (Camnosperma coreaceum)
7)
Geronggang (Cratoxylon arborencens)
8)
Simpur (Dillenia excelsa)
9)
Jelutung (Dyera lowii)
10) Gelam
(Melaleuca cajuputi)
11) Ramin
(Gonystylus bancanus)
12) Meranti
batu (Shorea uliginosa)
Di Indonesia tipe hutan rawa
gambut ini terdapat di dekat pantai timur Pulau Sumatera dan merupakan jalur
panjang dari Utara ke Selatan sejajar dengan pantai timur, di Kalimantan mulai
dari bagian utara Kalimantan Barat sejajar pantai memanjang ke Selatan dan ke
Timur sepanjang pantai selatan sampai ke bagian hilir Sungai Barito. Di samping
itu terdapat pula hutan rawa gambut yang luas di bagian selatan Papua.
Jenis-jenis pohon yang banyak
terdapat pada tipe hutan ini diantaranya adalah Alstonia spp, Tristania spp,
Eugena spp, Cratoxylon arborescens, Tetramerista glabra, Dactylocladus
stenostacys, Diospyros spp dan Myristica spp. Jenis-jenis pohon terpenting yang
terdapat pada formasi hutan rawa gambut adalah : Campnosperma sp., Alstonia
sp., Cratoxylon arborescens, Jackia ornata dan Ploiarium alternifolium).
Menurut Witaatmojo (1975) pada
hutan rawa gambut umumnya ada tiga lapisan tajuk, yaitu lapisan tajuk teratas
yang dibentuk oleh jenis-jenis ramin (Gonystylus bancanus), mentibu
(Dactylocladus stenostachys), jelutung (Dyera lowii), pisang-pisang (Mezzetia
parviflora), nyatoh (Palaqium spp), durian hutan (Durio sp), kempas (Koompassia
malaccensis) dan jenis-jenis yang umumnya kurang dikenal. Lapisan tajuk tengah
yang pada umunya dibentuk oleh jenis jambu-jambuan (Eugenia sp), pelawan
(Tristania sp), medang (Litsea spp), kemuning (Xantophyllum spp), mendarahan
(Myristica spp) dan kayu malam (Diospyroy spp). Sedangkan lapisan tajuk
terbawah terdiri dari jenis suku Annonaceae, anak-anakan pohon dan semak dari
jenis Crunis spp, Pandanus spp, Zalaca spp dan tumbuhan bawah lainnya. Tumbuhan
merambat diantaranya Uncaria spp.
Sedangkan hewan yang terdapat pada ekosistem hutan rawa gambut antara lain:
1.
Burung
Gereja
2.
Ikan
Gabus
3.
Ikan
puyu
4.
Capung
5.
Kupu
– kupu
6.
Zooplankton
7.
Fitoplankton
8.
Jangkrik
9.
Ikan
toman
10.
Semut
11.
Harimau
12.
Gajah
13.
Laba
– laba
Dokumentasi jenis tumbuhan dan hewan pada ekosistem hutan rawa gambut :
BAB III
POLA-POLA INTERAKSI EKOSISTEM HUTAN RAWA
GAMBUT
3.1 Pola-Pola
Interaksi Biotik pada Ekosistem Rawa Gambut
Simbiosis ialah
bentuk interaksi yang erat dan khusus antara dua makhluk hidup yang berlainan
jenis. Makhluk hidup yang melakukan
simbiotik disebut simbion. Simbiosis parasitisme, yaitu interaksi dua individu
atau populasi dinama salah satu individu untung, sedangkan simbion pasangannya
rugi.
Komponen-komponen pembentuk ekosistem adalah:
a)
Ikan- Ikan Kecil dan Fitoplankton/Zooplankton à
Fitoplankton adalah makan dari ikan-ikan kecil, dimana ikan-ikan kecil akan
memakan fitoplankton/zooplankton yang melayang atau berada di dasar perairan
guna memenuhi nutrisi untuk tubuhnya.
b)
Dekomposer (pengurai)
à
Merupakan organisme yang menguraikan sisa organisme untuk memperoleh makanan
atau bahan organik yang diperlukan. Penguraian memungkinkan zat-zat organik
yang kompleks terurai menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Kemudian dapat
dimanfaatkan kembali oleh produsen. Organisme yang termasuk dekomposer adalah
bakteri dan jamur (Aryulina, 2007).
Pengurai adalah
organisme yang menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati.
Pengurai disebut juga konsumen makro (sapotrof) karena makanan yang dimakan
berukuran lebih besar. Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian
tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali
oleh produsen.Yang tergolong pengurai adalah bakteri dan jamur. Ada pula
detritivor yaitu hewan pengurai yang memakan sisa-sisa bahan organik, contohnya
adalah kutu
kayu. Tipe dkomposisi ada tiga, yaitu:
1. secara aerobik : oksigen
adalah penerima elektron / oksidan
2. secara anaerobik :
oksigen tidak terlibat. Bahan organik sebagai penerima elektron /oksidan
3.
Fermentasi : anaerobik namun bahan organik yang teroksidasi juga sebagai penerima
elektron.
c)
Produsen à organisme yang dapat menghasilkan makanan dan
penyedia makanan untuk makhluk hidup yang lain. Komponen autotrof atau produsen terdiri
dari organisme yang dapat membuat makanannya sendiri dari bahan anorganik
dengan bantuan energi seperti
sinar matahari
(fotoautotrof) dan bahan kimia (kemoautotrof). Komponen autotrof berperan
sebagai produsen. Yang tergolong autotrof adalah tumbuhan berklorofil.
d)
Konsumen à organisme yang tidak dapat
membuat makanannya sendiri dan bergantung pada organisme lain dalam hal
makanan. Komponen heterotrof terdiri dari organisme yang memanfaatkan
bahan-bahan organik yang disediakan oleh organisme lain sebagai
makanannya. Komponen heterotrof disebut juga konsumen makro (fagotrof) karena makanan yang
dimakan berukuran lebih kecil. Yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba.
Pola interaksi :
(1)
Predasi àPredasi terjadi
antara konsumen tingkat II dan konsumen tingkat I, misalnya jangkrik dan semut (jangkrik sebagai pemangsa
dan semut sebagai yang
dimangsa).
(2)
Netralisme à adalah hubungan antar
organism/populasi yang tidak berpengaruh terhadap organism lainnya.
(3)
Kompetisi à
adalah bentuk hubungan antara
spesies yang satu dengan yang lain jika terjadi persaingan di antara mereka.
(4)
Simbiosis
Komensalisme à adalah
hidup bersama antara dua jenis makhluk hidup yang berbeda, salah satunya
mendapat keuntungan sementara yang lainnya tidak mendapat keuntungan ataupun
kerugian, Contoh: Epifit
(5)
Simbiosis
Parasitisme à adalah
hidup bersama antara dua jenis makhluk hidup yang berbeda, salah satu makhluk
hidup mendapat keuntungan sedangkan makhluk hidup lainnya dirugikan.
Contoh: (a) benalu dan tanaman inang ,
(6)
Antibiosis à Pola interaksi antara dua makhluk hidup yang
berbeda, dimana salah satu makhluk hidup menghambat pertumbuhan makhluk hidup
lainnya. Contoh tumbuhan eucalyptus dengan tumbuhan lain.
3.2 Pola Rantai Makanan, Jaring-Jaring
Makanan, Piramida Biomassa, Piramida Makanan pada Ekosistem Hutan Rawa Gambut
3.2.1. Rantai Makanan
Tumbuhan dan binatang dalam sebuah
ekosistem terhubung melalui hubungan makanan. Tanaman berfungsi sebagai
produsen dengan menggunakan energi
matahari untuk menghasilkan makanan yang bisa dimakan binatang. Energi
yang disimpan dalam dalam tumbuhan sebagai makanan diteruskan keseluruh
langsung kekonsumen primer (tingkat pertama) yaitu bnatang-binatang yang
memakan tumbuhan dan secara tidak langsung menjadi konsuem sekunder (tingkat
kedua), binatang-binatang lain yang memakan konsumen sekunder di sebut konsumen
tersier (tingkat ketiga).
Rantai makanan yang terjadi pada Ekosistem Hutan Rawa Gambut adalah
sebagai berikut :
Setiap rantai makanan mengandung
dekomposer (pengurai). Para pengurai ini meliputi bakteri, jamur, dan beberapa
jenis serangga yang mengurai materi tumbuhan dan hewan yangmati menjadi mineral
dan humus dalam tanah. Dalam proses ini, pengurai mendapatkan energy untuk
hidup dari makanan yang diurainya.
3.2.2
Jaring-Jaring
Makanan
Setiap ekosistem
mepunyai banyak rantai makanan yang saling terhubung membentuk jarring makanan
yang lebih rumit. Hal ini di karenakan binatang sering kali memakan beragam
makanansehingga memainkan peranan yang berbeda dalamsejumlah rantai makanan.
Binatang dari satu rantai makanan memakan tumbuhan dan binatang dari rantai makanan
yang lain. Dengan cara ini, semua mahluk hidup di bumi saling terhubung dalam
satu jaringan yang luas dan berkelanjutan.
1. Daerah pertama (lokasi gambut di siak)
Gambar 12 :
kanal pada hutan rawa gambut (sumber : arsip 6A, 2014)
Rantai makanan :
|
|
|
|
2. Lokasi sungai Mandau
|
|
|
|
|
Gambar 13 : lokasi sungai Mandau kanal pada hutan rawa
gambut (sumber: arsip 6A, 2014)
Gambar 14 :
aliran air kanal pada hutan rawa gambut (sumber : arsip 6A, 2014)
Gambar 15 :
air asam kanal pada hutan rawa gambut (sumber : arsip 6A, 2014)
3. Lokasi
ketiga ( HTI )
|
|
|
|
|
|
|
|
Rantai makanan pada kanal di HTI:
|
|
|
4.
Lokasi ke-4
|
|
|
|
|
|
Bagan 18 : jaring-jaring makanan pada lokasi belum terbakar,
(sumber : arsip 6A, 2014)
Gambar 19 :
lahan yang terbakar pada hutan rawa gambut (sumber : arsip 6A, 2014)
|
|
|
|
|
|
|
Bagan 20 : jaring-jaring
makanan pada lokasi yang terbakar, (sumber : arsip 6A, 2014)
3.2.3
Piramida
Biomassa
Gambar 21 : piramida biomasa, (sumber : arsip 6A,2014)
Seringkali piramida jumlah yang
sederhana kurang membantu dalam memperagakan aliran energi dalam ekosistem.
Penggambaran yang lebih realistik dapat disajikan dengan piramida biomassa.
Biomassa adalah ukuran berat materi hidup di waktu tertentu. Untuk mengukur
biomassa di tiap tingkat trofik maka rata-rata berat organisme di tiap tingkat
harus diukur kemudian barulah jumlah organisme di tiap tingkat diperkirakan.
Piramida biomassa berfungsi menggambarkan perpaduan massa seluruh
organisme di habitat tertentu, dan diukur dalam gram. Untuk menghindari
kerusakan habitat maka biasanya hanya diambil sedikit sampel dan diukur,
kemudian total seluruh biomassa dihitung. Dengan pengukuran seperti ini akan
didapat informasi yang lebih akurat tentang apa yang terjadi pada ekosistem. Pada piramida
energi terjadi penurunan sejumlah energi berturut-turut yang tersedia di tiap
tingkat trofik. Berkurang-nya energi yang terjadi di setiap trofik terjadi
karena hal-hal berikut. Hanya sejumlah makanan tertentu yang ditangkap dan
dimakan oleh tingkat trofik selanjutnya. Beberapa makanan yang dimakan tidak
bisa dicemakan dan dikeluarkan sebagai
sampah. Hanya sebagian makanan yang dicerna menjadi bagian dari tubuh organisms, sedangkan sisanya digunakan
sebagai sumber energi (Elfis,
2010).
3.3 Aliran Energi dan Siklus Materi Ekosistem
Rawa Gambut
Aliran energi merupakan rangkaian urutan pemindahan bentuk
energi satu ke bentuk energi yang lain dimulai dari sinar matahari lalu ke
produsen, konsumen, sampai ke pengurai di dalam tanah. Organisme memerlukan
energi untuk mendukung kelangsungan hidupnya, antara lain untuk proses
pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, bergerak, dan metabolisme yang ada
dalam tubuh (http://www.sentra-edukasi.com/2010/04/pengertian-manfaat-aliran-energi-dalam.html)
Energi dapat
diartikan sebagai kemampuan kerja. Energi diperoleh organisme dari makanan yang
dikonsumsinya. Cahaya matahari merupakan sumber energi
utama kehidupan. Tumbuhan berklorofil memanfaatkan cahaya matahari untuk
berfotosintesis. Organisme
yang menggunakan cahaya untuk mengubah zat anorganik menjadi zat organik disebut organisme fotoautotrof. Organisme yang menggunakan energi yang didapat dari reaksi kimia untuk
membuat makanan disebut organisme kemoautotrof.
Siklus
aliran energi ( siklus air)
Daur
oksigen dan karbondioksida
Siklus hidrologi panjang
Hampir semua
mahkluk hidup membutuhkan air untuk memenuhi kebutuhan demi kelangsungan
hidupnya. Menurut sejarah, sejak ribuan tahun sebelum masehi, para
tokoh/ilmuwan seperti Hometos, Thales (650 SM), Plato (427 SM), dan Aristoteles
(384 SM) telah mencoba untuk menjawab tentang asal-usul air yang ada di mata
air, sungai dan lain-lainnya, tetapi belum didapatkan jawaban yang jelasdan
memuaskan.
Proses siklus hidrologiadalah
sebagai berikut :
ü
Proses penguapan, karena adanya pemanasan
matahari.
ü
Uap air tertiup dan naik pada ketinggian
tertentu dan akan mengembun.
ü
Air turun
menjadi hujan.
ü
Uap air yang menjadi es di puncak pegunungan,
jika terkena suhu panas akan mencair.
ü
Terjadi lagi proses penguapan, begitulah secara
alami dan terus menerus.
Air di muka
bumi memiliki jumlah yang tetap dan selalu bergerak dalam suatu putaran secara
terus-menerus yang disebut siklus hidrologi atau daur hidrologi. Hal ini
terjadi akibat pengaruh sinar matahari.
Siklus Hidrologi dibedakan atas tiga jenis, yaitu :
o
Siklus air pendek à
Air laut menguap kemudian melalui proses kondensasi berubah menjadi
butir-butir air yang halus atau awan dan selanjutnya langsung jatuh ke laut dan
akan kembali berulang menjadi hujan.
o
Siklus air sedang à
Air laut menguap lalu dibawa oleh angin menuju daratan dan melalui proses
kondensasi berubah menjadi awan lalu jatuh sebagai hujan di daratan dan
selanjutnya meresap ke dalam tanah lalu kembali ke laut melalui sungai-sungai
atau saluran-saluran.
o
Siklus
air panjang à Air laut menguap, setelah menjadi awan melalui
proses kondensasi, lalu terbawa oleh angin ke tempat yang lebih tinggi di
daratan dan terjadilah hujan salju atau es di pegunungan-pegunungan yang
tinggi. Bongkahan-bongkahan es mengendap di puncak gunung dan karena gaya
beratnya meluncur ke tempat yang lebih rendah, mencair lalu mengalir melalui
sungai-sungai kembali ke laut.
Air yang ada
di permukaan bumi dan di udara berada dalam bentuk cair, gas, dan padat (es
atau salju). Perubahan air dalam tiga bentuk ini memang sangat menakjubkan.
Jika terjadi perubahan temperatur, air dapat berubah menjadi es yang disebut
membeku (freezing), atau sebaliknya es akan berubah menjadi air yang
disebut mencair (melting), dan air yang mencair tersebut dapat pula
berubah menjadi gas melalui proses penguapan (evaporation).
3.4
Keterkaitan
Antar Komponen Ekosistem
Keberadaan komponen Abiotik
yang khas membentuk suatu karakter sendiri pada hutan rawa gambut yang membuat
hutan ini berbeda dengan hutan yang lainnya. Keberadaan lahan salin yang
dirembesi air asin membuat mangrove dapat hidup pada lahan salin Hutan Rawa
Gambut. Sedangkan air yang mendominasi ekosistem ini dan pori tanah yang cukup
besar membuat tumbuhan rotan dan tumbuhan lain dapat hidup pada ekosisitem
jenis hutan rawa gambut. Begitu juga manusia sebagai salah satu komponen
biotic pada hutan rawa gambut memiliki ketergantungan tersendiri terhadap
kawasan ini. Sebagaimana beberapa penduduk wilayah setempat tergantung hidup
dari mengolah rotan atau kayu yang berasal dari hutan. Siklus saling ketergantungan inilah yang menciptakan
keseimbangan pada ekosisitem rawa gambut ini. Ketika satu rantai keseimbangan pada hutan
rawa gambut dirusak, akan menyebabkan kerusakan pada rantai-rantai lain yang
saling tergantung. Contohnya ketika manusia terlalu rakus mengeksploitasi rotan
dan kayu dihutan, maka akan tercipta penggundulan hutan gambut di titik
tertentu hingga aliran air yang ada akan menglirkan unsure hara dan bermuara di
sungai atau laut. Hal ini akan menjadikan lahan kering dan rusak hingga fungsinya
sebagai pengikat karbon terganggu dan akan menciptakan perubahan iklim global
serta bencana banjir. Demikian ketika satu rantai dirusak akan menrusak rantai
lain yang ada dalam ekosisitem tersebut termasuk pada hutan rawa gambut.
BAB IV
SUKSESI
VEGETASI HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU
Komunitas yang terdiri dari berbagai populasi bersifat
dinamis dalam interaksinya yang berarti dalam ekosistem mengalami perubahan
sepanjang masa. Perkembangan ekosistem menuju kedewasaan dan keseimbangan
dikenal sebagai suksesi ekologis atau suksesi. Suksesi terjadi
sebagai akibat dari modifikasi lingkungan fisik dalam komunitas atau ekosistem.
Proses suksesi berakhir dengan sebuah komunitas atau ekosistem klimaks atau
telah tercapai keadaan seimbang (homeostatis).
Di alam ini terdapat dua macam suksesi, yaitu suksesi primer
dan suksesi sekunder.
4.1. Suksesi primer
4.1. Suksesi primer
Suksesi primer terjadi bila komunitas asal terganggu.
Gangguan ini mengakibatkan hilangnya komunitas asal tersebut secara total
sehingga di tempat komunitas asal terbentuk habitat baru. Gangguan ini dapat
terjadi secara alami, misalnya tanah longsor, letusan gunung berapi, endapan
Lumpur yang baru di muara sungai, dan endapan pasir di pantai. Gangguan dapat
pula karena perbuatan manusia misalnya penambangan timah, batubara, dan minyak
bumi. Contoh yang terdapat di Indonesia adalah terbentuknya suksesi di Gunung
Krakatau yang pernah meletus pada tahun 1883. Di daerah bekas letusan gunung
Krakatau mula-mula muncul pioner berupa lumut kerak (liken) serta tumbuhan
lumut yang tahan terhadap penyinaran matahari dan kekeringan. Tumbuhan perintis
itu mulai mengadakan pelapukan pada daerah permukaan lahan, sehingga terbentuk
tanah sederhana. Bila tumbuhan perintis mati maka akan mengundang datangnya
pengurai. Zat yang terbentuk karma aktivitas penguraian bercampur dengan hasil
pelapukan lahan membentuk tanah yang lebih kompleks susunannya. Dengan adanya
tanah ini, biji yang datang dari luar daerah dapat tumbuh dengan subur.
Kemudian rumput yang tahan kekeringan tumbuh. Bersamaan dengan itu tumbuhan
herba pun tumbuh menggantikan tanaman pioner dengan menaunginya. Kondisi
demikian tidak menjadikan pioner subur tapi sebaliknya.
Sementara itu, rumput dan belukar dengan akarnya yang kuat
terns mengadakan pelapukan lahan.Bagian tumbuhan yang mati diuraikan oleh jamur
sehingga keadaan tanah menjadi lebih tebal. Kemudian semak tumbuh. Tumbuhan
semak menaungi rumput dan belukar maka terjadilah kompetisi. Lama kelamaan
semak menjadi dominan kemudian pohon mendesak tumbuhan belukar sehingga
terbentuklah hutan. Saat itulah ekosistem disebut mencapai kesetimbangan atau
dikatakan ekosistem mencapai klimaks, yakni perubahan yang terjadi sangat kecil
sehingga tidak banyak mengubah ekosistem itu.
Gambar 22 : suksesi
primer (sumber : arsip 6A, 2014)
4.2 Suksesi
Sekunder
Suksesi sekunder terjadi bila suatu komunitas mengalami
gangguan, balk secara alami maupun buatan. Gangguan tersebut tidak merusak
total tempat tumbuh organisme sehingga dalam komunitas tersebut substrat lama
dan kehidupan masih ada. Contohnya, gangguan alami misalnya banjir, gelombang
taut, kebakaran, angin kencang, dan gangguan buatan seperti penebangan hutan
dan pembakaran padang rumput dengan sengaja.
Spurr (1964) menyatakan bahwa suksesi merupakan
proses yang terjadi terus menerus yang ditandai oleh perubahan vegetasi, tanah
dan iklim mikro dimana proses ini terjadi. Selanjutnya Emlen (1973) menyatakan
bahwa suksesi merupakan suatu proses dimana suatu komunitas tumbuhan mencapai
suatu keseimbangan dengan melalui tingkat vegetasi dimana masing-masing tingkat
diduduki oleh jenis dominan yang berbeda.
Shukla dan Chandel (1982) menyatakan bahwa suksesi
adalah suatu proses universal yang kompleks, mulai (awal) berkembang dan
akhirnya stabil pada tingkat klimaks. Lebih lanjut dikatakan dimana suksesi
pada umumnya progresif dan menghasilkan adanya perubahan habitat dan bentuk
kehidupan dalam pertumbuhan tumbuh-tumbuhan. Selanjutnya Soerianegara dan
Indrawan (1998) menyatakan bahwa proses suksesi adalah perubahan secara
bertahap dan berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh
tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap
tempat tumbuh dan stabilisasi.
Whittaker
(1970) menyatakan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi selama proses suksesi
berlangsung adalah sebagai berikut :
ü
Adanya perkembangan dari sifat-sifat tanah,
seperti meningkatnya kedalaman tanah, meningkatnya kandungan bahan organik dan
meningkatnya perbedaan lapisan horizon tanah.
ü
Terjadinya peningkatan dalam tinggi, kerimbunan
dan perbedaan strata dari tumbuh-tumbuhan.
ü
Dengan meningkatnya sifat-sifat tanah dan
struktur komunitas, maka produktivitas dan pembentukan bahan organik meningkat.
ü
Keanekaragaman jenis meningkat dari komunitas
yang sederhana pada awal tingkat suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir
suksesi.
ü
Populasi meningkat, pergantian suatu populasi
oleh populasi lainnya meningkat sampai tingkat yang stabil juga jenis yang
berumur pendek digantikan oleh jenis yang berumur panjang.
ü
Kestabilan relatif dari komunitas meningkat pada
awal komunitas tidak stabil dimana populasi secara cepat digantikan oleh
populasi lain. Sedangkan pada komunitas akhir biasanya stabil dan dikuasai oleh
tumbuh-tumbuhan yang berumur panjang serta komposisi dari komunitas tidak
banyak berubah.
Ewusie (1980), menyatakan bahwa ada tiga faktor yang
memegang peranan penting dalam terbentuknya suatu komunitas, yaitu :
o
Tersedia kesempatan berkoloni atau bahan-bahan
serbuan (invading material) misalnya benih, buah dan spora-spora. Hal ini
merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan suatu komunitas
tumbuhan pada setiap waktu tertentu. Jadi tergantung bahan yang terbawa ke
lokasi tersebut.
o
Seleksi pada bahan-bahan yang tersedia secara
alam di lingkungan tersebut. Setelah beberapa benih berkoloni dan semai telah
mulai hidup pada habitat tersebut, hanya beberapa saja yang dapat toleran
terhadap lingkungan dan dapat tumbuh dengan baik. Lingkungan dapat tidak baik
untuk perkecambahan beberapa benih dan juga dapat menekan semai-semai tertentu
sampai tidak dapat tumbuh. Tingkat ini adalah tingkat yang kritis, karena
secara umum selang toleransi semai lebih sempit daripada tumbuhan yang sudah
dewasa. tentunya perbedaan lingkungan menghasilkan perbedaan pada tingkat
seleksi. Sebagai kasus yang ekstrim misalnya pada permukaan batuan telanjang
atau bukit pasir, di sini hanya beberapa jenis saja yang dapat tumbuh.
o
Modifikasi lingkungan oleh tumbuhan. Dari saat
yang akan berkoloni pertama tiba pada habitat telanjang tersebut dan mulai
tumbuh, komunitas tumbuhan mulai memodifikasi lingkungan. Pengaruhnya dapat
dilihat pada tahap akhir dari perkembangan.
Komunitas hutan adalah suatu sistem yang hidup dan
tumbuh, suatu komunitas yang dinamis. Komunitas hutan terbentuk secara
berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi,
agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan
stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere (Soerianegara dan Indrawan,
1998). Prinsip dasar dalam proses suksesi adalah adanya serangkaian perubahan
komunitas tumbuhan (jenis dan strukturnya) bersamaan dengan habitat tempat
tumbuhnya (Manan, 1979). Sedangkan Emlen (1973), menyatakan bahwa suksesi
merupakan suatu proses dimana suatu komunitas tumbuhan mencapai suatu
keseimbangan dengan melalui tingkat vegetasi dimana masing-masing tingkat
diduduki oleh jenis dominan yang berbeda. Richards (1952) menyatakan bahwa apabila
pohon yang besar mati, pohon tersebut akan meninggalkan suatu celah (gap) atau
bukaan (opening) di dalam stratum pohon tersebut.
Pembentukan
suatu celah menyebabkan perkembangan tumbuhan bawah yang cepat. Karena
dirangsang pertambahan penyinaran dan mungkin oleh berkurangnya persaingan akar
setempat, jenis-jenis pohon muda yang intoleran, yang terdapat di sekitar
tumbuhan bawah itu akan lebih cepat tumbuh daripada jenis yang toleran.
Sedangkan Aweto (1981) dan Abdulhadi et al., (1981) menyatakan bahwa “mature
forest” pada suksesi 80 tahun. Jika
hutan hujan mengalami±sekunder akan terbentuk
kerusakan oleh alam atau manusia (perladangan atau penebangan) maka
suksesi sekunder yang terjadi biasanya dimulai dengan vegetasi rumput atau
semak. Selanjutnya Soerianegara dan Indrawan (1998) menyatakan kalau keadaan
tanahnya tidak banyak menderita kerusakan oleh erosi, maka setelah 15-20 tahun
akan terjadi hutan sekunder muda, dan sesudah 50 tahun terjadi hutan sekunder
tua yang secara berangsur-angsur akan mencapai klimaks.
Keanekaragaman jenis akan meningkat dari komunitas
yang sederhana pada awal suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi
(Whittaker, 1970). Keanekaragaman jenis cendrung lebih tinggi di dalam
komunitas yang lebih tua dan rendah dalam komunitas yang baru terbentuk,
kemantapan habitat merupakan faktor utama yang mengatur keragaman jenis. Pada
komunitas yang lebih stabil, keanekaragaman jenis lebih besar dari komunitas
yang sederhana dan cendrung untuk memuncak pada tingkat permulaan dan
pertengahan dari proses suksesi dan akan menurun lagi pada tingkat klimaks
(Ewel, 1980; Ricklefs, 1973).
Kellman (1970) menyatakan bahwa proses revegetasi
tidak berhubungan dengan keadaan hara tanah pada penelitiannya di daerah tropik
di Pegunungan Mindanau Filipina. Tanah yang mengalami suksesi antara 1-27 tahun
tidak mempengaruhi hara tanah, oleh sebab itu disimpulkan bahwa perubahan
kesuburan tanah tidak begitu penting dalam pergantian suksesi. Keadaan lingkungan
sekitarnya seperti radiasi dan temperatur udara merupakan faktor yang
mempengaruhi perubahan vegetasi. Menurutnya kesimpulan ini bertentangan dengan
pernyataan yang berulang-ulang, mengenai pentingnya unsur hara yang merupakan
faktor yang menentukan jalanya suksesi sekunder pada hutan hujan tropika.
Selanjutnya Tracey (1960) juga menyatakan bahwa
faktor fisik tanah tidak mempunyai pengaruh yang begitu besar dalam menentukan
tipe hutan. Goodland dan Pollard (1973) memperlihatkan hubungan yang erat
diantara struktur vegetasi dengan unsur N, P dan K pada tanah vegetasi di
Cerrado, Brazil. Pada daerah ini terjadi perubahan dari vegetasi herba yang
rendah kecil dan jarang, menjadi lebat dimana lapisan tajuk atas 50 % terdiri
dari pohon yang tinggi, besar dan pada tanahnya terjadi peningkatan kadar N, P
dan K.
Webb (1969) menyatakan bahwa unsur-unsur kimia
terutama N, K dan Ca adalah unsur-unsur yang penting untuk menentukan tipe
hutan dan kondisi dari kesuburan tanah yang menitik beratkan pada faktor iklim
yang menentukan distribusi dari tipe-tipe vegetasi tertentu. Grubb (1977)
menyatakan bahwa laju pergerakan dari unsur-unsur hara pada tanah pegunungan
tropik dapat menambah keterbatasan unsur hara, ia juga berpendapat bahwa
keterbatasan struktur dari hutan hujan pegunungan dapat menyebabkan miskinnya
suplai dari N dan P. Suatu contoh yang ekstrim dari respon vegetasi terhadap
kondisi tanah adalah rendahnya produktivitas, miskinnya jenis-jenis pohon pada
hutan kerangas di daerah tropika (Brunig, 1979; Kartawinata dan Riswan, 1982).
Richards (1952) menyatakan bahwa suksesi pada tanah
yang kaya hara tidak jauh berbeda dengan tanah yang miskin hara. Aweto (1981)
menyatakan bahwa pada tanah-tanah yang berumur 1,3,7 dan 10 tahun setelah
perladangan dan pada hutan primer, peningkatan bahan organik terbatas pada
daerah top soil (0-10 cm) dan pada tahun ke sepuluh telah mencapai 78 % dari
bahan organik pada hutan primer. Tidak ada perubahan nyata dari nilai pH pada 3
tahun pertama dan setelah itu pH bertambah sampai tahun ke sepuluh. Nilai tukar
kation pada lapisan top soil tidak ada peningkatan yang nyata selama tiga tahun
pertama, tetapi terdapat peningkatan pada tahun ke tujuh yang diikuti penurunan
pada tahun ke sepuluh. Tidak ada peningkatan yang nyata dari nilai tukar kation
pada lapisan 10-30 cm.
Gambar 23 : suksesi sekunder yang terjadi pada hutan rawa
gambut (sumber : arsip 6A, 2014)
Terjadi suksesi sekunder setelah kebakaran àTerjadi
apabila klimaks atau suksesi yang normal terganggu atau dirusak. Di habitat tersebut masih ada substrat hidup atau organisme yang lama. Telah tampak pada tempat atau lokasi ke-4
yang terjadi kebakaran hanya sebagian lahan saja yang kebakar dan telah tumbuh
lumut, serta jamur.
|
|
BAB V
PERUBAHAN EKOSISTEM RAWA GAMBUT JIKA TERJADI GANGGUAN
5.1. Ekosistem Rawa Gambut
Ekosistem dan lingkungan
merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Dalam pembahasan mengenai ekosistem,
lingkungan juga akan menjadi objek pembahasan. Secara fisik, lingkungan berarti
wadah atau tempat berlangsungnya suatu sistem kehidupan organisme atau suatu
komunitas. Kondisi lingkungan akan berubah jika terjadi perubahan di dalam
ekosistem atau sebaliknya; masing masing saling mempengaruhi dalam suatu
keseimbangan yang dinamis dan merupakan satu kesatuan fungsional (Pratiwi,
2006).
Dengan demikian, ekosistem
meliputi seluruh mahluk hidup dan lingkungan fisik yang mengelilinginya, dan
merupakan suatu unit yang mencakup semua mahluk hidup dalam suatu area yang
memungkinkan terjadinya interaksi dengan lingkungannya, baik yang bersifat
abiotik maupun biotik.
5.2 Kerusakan Hutan Rawa Gambut
Selama lebih dari 30 (tiga
puluh) tahun terakhir ini, hutan rawa gambut telah mengalami pembalakan,
pengeringan, dan perusakan dahsyat akibat adanya berbagai kegiatan yang terkait
dengan kehutanan, pertanian, dan perkebunan. Kegiatan pembalakan baik resmi maupun tidak resmi seringkali melibatkan
pengeringan gambut selama proses ekstraksinya.
Pada kondisi alaminya yang basah, lahan gambut sebenarnya tidak mungkin
untuk mengalami kebakaran besar. Pada kenyataannya, karena telah banyak
mengalami kekeringan akibat drainase diantaranya untuk perkebunan maupun
pengeluaran kayu, kebakaran kemudian menjadi fenomena umum di lahan gambut.
Berbagai kegiatan seperti pembukaan dan persiapan lahan pertanian, perkebunan,
pemukiman, penebangan yang tidak terkendali, pembangunan
saluran irigasi/parit/kanal untuk perkebunan dan pengeluaran kayu tebangan
serta transportasi menyebabkan kerusakan lahan gambut. Kerusakan yang terjadi
tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik (subsiden terbakar dan berkurangnya
luasan gambut), tetapi juga menyebabkan hilangnya fungsi ekosistem dan ekologis
gambut.
Kerusakan Hutan Rawa Gambut saat ini disebabkan oleh:
ü
Tidak memperhatikan karakteristik Ekosistem
ü
Over Eksploitasi
ü
Pembakaran
ü
Konversi
Untuk memperbaiki kerusakan tersebut perlu
dilakukan tindakan secara silvikultur yang baik. Sistem Silvikultur 1.
Pemilihan Jenis Tanaman Pemilihan jenis tanaman merupakan hal yang sangat
penting diperhatikan dalam pengelolaan hutan rawa gambut, karena pertumbuhan
jenis tanaman sangat tergantung dengan kondisi tapaknya, jika tanaman sesuai
dengan kondisi tapak dan iklim mendukung maka upaya pengelolaan lebih efisien
dan efektif
Jika kita lihat dari segi tujuan
perlindungan, pola pembuatan tanaman secara campur (mix-forest) akan lebih
menguntungkan, dengan penanaman hutan secara campur tersebut, akmulasi serasah
sebagai salah satu penunjang kebakaran hutan dapat diperkecil dengan catatan
seperti curah hujan, suhu dan organisme renik cukup mendukungnya (Sumardi dan
Widyastuti, 2002).
Berdasarkan atas tingkat pelapukan
(dekomposisi) tanah gambut dibedakan menjadi:
(1)
Gambut kasar (Fibrist ) yaitu gambut yang memiliki
lebih dari 2/3 bahan organk kasar;
(2)
Gambut sedang (Hemist) memiliki 1/3-2/3 bahan organik
kasar; dan
(3)
Gambut halus
(Saprist) jika bahan organik kasar kurang dari 1/3.
Gambut kasar mempunyai porositas yang tinggi,
daya memegang air tinggi, namun unsur hara masih dalam bentuk organik dan sulit
tersedia bagi tanaman, draenase merupakan salah satu tindakan dalam pengelolaan
sifat fisik, Untuk perbaikan sifat biologi tanah yang lebih baik, saat ini
dilakukan dengan inokulasi mikroba pelapuk yang dapat merombak bahan organik
dengan cepat, seperti jenis penicilium,micoriza dan rhizhobium dan Pseudomonas.
Bakteri-bakteri tersebut juga dapat menambat unsur-unsur sehingga dapat
memperbaiki kondisi kimia tanah.
Gambar 25 :
kebakaran hutan rawa gambut, (sumber : arsip 6A, 2014)
Beberapa akibat
kerusakan Hutan rawa Gambut:
o Kurang fungsi penyerapan air à
Besarnya peran Hutan rawa Gambut
yang mampu menyerap 850% dari volume tanah kering menyebabkan ketidak
seimbangan hidrologi kawasan sekitar. Ketika hutan rawa gambut dibuka maka air
dan nutrient hutan akan keluar dan gambut akan miskin unsure hara dan sangat
kering. Fungsi pengikat air ini sendiri tidak dapat dipulihkan lagi dalam waktu
yang singkat.
o Dangkalnya unsure hara pada hutan rawa
gambut à Hal ini
menyebabkan penurunan permukaan tanah hingga tumbuhan yang mampu bertahan makin
berkurang, gersang, dan tidak ada lagi hewan yang mampu hidup. Hal ini
mengancam keberlanjutan hewan-hewan langka yang hidup didalamnya. Dan ketika
musim hujan, ancaman banjir akan semakin besar meskipun hutan ini telah diganti
dengan parit dan system drainase yang baik.
o Pemanasan Global tinggi karna karbon
hilang à Lahan gambut merupakan pengikat karbon yang baik.
Jika lahan gambut berkurang, karbon yang dilepaskan akan semakin banyak, Karbon
lapisan ozon akan membengkak hingga merusak ozon. Demikian Lahan gambut harus
dipertahankan.
o Penurunan Permukaan tanah menimbulkan
genangan air yang sifatnya permanen. Selain itu penurunan lahan bergambut menyebabkan
lahan mongering dan semakin mempertinggi peluang terjadinya kebakaran lahan
o Lahan yang rusak dan tidak produktif lagi
biasanya akan ditinggalkan oleh penduduk.
Kerugian Kerusakan Hutan rawa Gambut
o Kerugian
ekologis : menurunnya kualitas ekologis sebagai system penyangga, kurang jenis
flora dan fauna yang merupakan sumber plasma nutfah, berubahnya fungsi
hidrologi dan pola hujan local dan regional.
o Kerugian estetis dan nilai alamiah : hutan
wisata berkurang dan kenyamanan berkurang, keseimbangan ilmiah ekosistem rusak.
o Kerugian sosial : berkurangnya mata
pencarian hidup penduduk
Gambar 26 : akibat kebakaran hutan rawa gambut, (sumber : arsip 6A, 2014)
Beberapa
Strategi Pertahanan Hutan Rawa Gambut
Pengurangan
kanal karena dapat membuat
tanah turun dan menyebabkan serasah kering sehingga air dari tanah gambut
berkurang.
Rehabilitasi
hutan
Kajian kebijakan
Patroli
intensif (Pembentukan unit pengamanan hutan regional)
Penjelasan
status kepemilikan lahan, Pembentukan hutan tanaman industry (HTI) bekerja
sama dengan masyarakat.
Kampanye
kesadaran lingkungan
Pelarangan
penebangan jenis kayu tertentu
Rawa gambut yang sudah terdegradasi
|
Rawa gambut sebelum terdegradasi
|
ü Karena telah banyak HTI pada lahan
gambut tumbuhan yang ditemukan adalah akasia, eukaliptus, ramin, meranti
serta tumbuhan ini merupakan bukan tumbuhan asli dari habitat rawa gambut.
ü Karena telah berkurangnya habitat
asli maka ekosistem jarring serta rantai makanan pun tidak stabil karena hewannya berkurang, berakibatkan
siklus aliran energi serta ssiklus energi pada ekosistem ini berjalan lambat.
ü Proses humufikasi tanah menjadi
lambat karena kekurangan pengurai serta hewan dalam lahan gambut tersebut.
ü Banyaknya kanal menyebabkan
berbagai kerugian yaitu ekosistem gambut kehilangan air, akibatnya tanah akan
turun kebawah, serta tidak adanya penyanggah.
ü Pada rawa gambut yang telah
terdegradasi sudah tidak terdapat lagi jenis tumbuhan aslinya. Karena telah
mengalami kerusakan akibat ulah manusia, bencana alam. Yang mengakibatkan
suksesi primer.
|
ü Jenis-jenis
pohon yang banyak terdapat pada tipe hutan ini diantaranya adalah Alstonia
spp, Tristania spp, Eugena spp, Cratoxylon arborescens, Tetramerista glabra,
Dactylocladus stenostacys, Diospyros spp dan Myristica spp. Jenis-jenis pohon
terpenting yang terdapat pada formasi hutan rawa gambut adalah : Campnosperma
sp., Alstonia sp., Cratoxylon arborescens, Jackia ornata dan Ploiarium
alternifolium).
|
Degradasi lahan gambut adalah perubahan
yang mengarah pada kerusakan di lahan gambut. Lahan gambut terdegradasi
disebabkan karena eksploitasi materi hutan yang berlebihan tanpa ada usaha
pemulihan kondisi kembali bahkan lahan gambut sering sengaja dibakar untuk
mangalihkan fungsinya menjadi penggunaan lahan lain sehingga lapisan gambutnya
hilang yang akhirnya menjadi lahan terlantar karena miskin hara dan tidak dapat
dimanfaatkan lagi (http://iccc-network.net).
DAFTAR
PUSTAKA
Adhi, W. 1986. Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut dan
lebak. Jurnal Litbank Pertanian 5:
1-9.
Anonym (2010). aveilable
at: http://www.sentra-edukasi.com/2010/04/pengertian-manfaat-aliran-energi
dalam.html. diakses 10 mei 2014
Anonym(2009).
Available at: http://sanoesi.wordpress.com/2009/06/19/sistem-silvikultur-hutan-rawa-gambut/.
Diakses 10 mei 2014
anonym(2010). Pengertian
manfaat aliran energi. Available at: http://www.sentra-edukasi.com/2010/04/pengertian-manfaat-aliran-energi
dalam.html diakses 10 mei 2014.
Anonym(2010).
Pengertian ekosistem. Available at: http://pengertian-definisi.blogspot.com/2010/10/pengertian-ekosistem.html.
diakses 10 mei 2014.
Anonym(2014). Available
at: http://ekotum-11-6b.blogspot.com/2014/04/makalah-edaphis.html
diakses 10 mei 2014
anonim. Available at: http://bioenvironmental.wordpress.com/2013/10/02/karakteristik-ekosistem-rawa-gambut/ diakses 10 mei 2014
anonim. Available at: http://www.antaranews.com/foto/62579/perambahan-cagar-biosfer-riau
diakses 10 mei 2014
Buckman , H.O. And. N. C
Brady. 1982. Ilmu tanah (terjemahan).
Penerbit Bharata Karya Akasia, Jakarta
Departemen Kehutanan.
2005. Statistik Kehutanan. Depertemen
kehutanan, Jakarta.
Daniel, T.W., Helms and
.F. S. Baker. 1995. Prinsip-prinsip
silvikultur. (Terjemahan). Gajah Mada University Pres.Yogyakatra.
Driessen, P.M. 1977. Formation, Properties, Reclamation and
Agricultural Potential of indonesian ombrogeneos lolwland peats. Soil
Reseaceha Intitute. Bogor
Elfis, uir. 2010. Ekologi ekosistem. Aveilable at
: http://elfisuir.blogspot.com/2010/03/ekologi-ekosistem.html.
diakses 10 mei 2014
Elfis. 2010. Struktur floristik ekosistem hutan
rawa. Available at: http://elfisuir.blogspot.com/2010/06/struktur-floristik-ekosistem-hutan-rawa.html
diakses 10 mei 2014
Ekotum,11-6b. 2014. Makalah edaphis. Available at:
http://ekotum-11-6b.blogspot.com/2014/04/makalah-edaphis.html
diakses 10 mei 2014
Golley, F.B. (Ed.). 1977.
Ecological Succession. Benchmark
Papers In Ecology V. 5. Dowden. Hutchinson and Rose, Inc., Stroudsburg.
Pennsylvania
Rusandi, rio. Makalah pemanenan dirawa gambut
indonesia. Available at: http://www.slideshare.net/RioRusandi92/makalah-pemanenan-hasil-hutan-di-rawa-gambut-indonesia
diakses 10 mei 2014
valentina, novia. 2011. Ekosistem rawa gambut.
Available at: http://noviavalentina.blogspot.com/2011/04/ekosistem-rawa-gambut.html
diakses 10 mei 2014
Langganan:
Postingan (Atom)